According to the opinion of my friend who has ever been in a lot of countries to perform his music, Indonesia has a great talent in music, compare to some of the countries around the world. Since I really love this field (i.e. music), and I’ve ever performed as a pianist in some local jazz concerts, or involved in an electone competition when I was in Bandung and Jakarta, I really wanted to make a comparison regarding this matter with that country..
Waktu malem minggu, karena sudah keok berjalan-jalan dari satu mall ke mall yang lain, maka saya memutuskan untuk duduk disebuah bangku di pinggir trotoar, dibawah pohon yang rindang. Walau pun waktu sudah menunjukkan pukul 23.30, saya masih belum mo beranjak menuju ke penginapan. Terlebih juga masih banyak orang-orang yang duduk-duduk di pinggir trotoar tersebut. Ternyata, didekat situ ada live performance, tepatnya suatu grup band yang memainkan lagu jazz standar. All the performers were male. Ditilik dari usianya, mungkin sekitar 25-40 tahunan.. dan formatnya seluruhnya elektrik (kecuali drum dan perkusi), yakni piano, bass, gitar dan seorang vokalis.
Aha! Waktu yang tepat nih. Coba, sebagus apa sih band ini? Kalo dibandingin sama band saya atau band temen-temen saya yang di Bandung, kira-kira hebatan mana ya? Maka saya dengarkan baik-baik permainan mereka. Lagu-lagu seperti ”I Love You for A Sentimental Reasons”, ”One Note Samba”, ”Taking A Chance of Love” pun mereka mainkan dengan rapih. Saya sampai takjub mendengarkannya. Waduh, udah bisa nyaingin Indonesia neh, sama-sama ‘halus n berbakat’ sekali maennya (lebih bagus sih gak, gak iklas lah saya.. he..he..). Ato, jangan-jangan, sebenernya mereka ini udah ng-top? Kelas professional? Cuman sayanya aja kali yang gak tau..
Sekedar alesan untuk membela diri.. he..he..
Hal ini masih berlanjut keesokan harinya. Saya jalan-jalan ke salah satu mall yang berada di ujung pelabuhan kapal. Konsep mall-nya asik juga, karena disertai hawa angin laut yang segar. Tiba-tiba mata saya tertuju pada amphitheater terbuka yang ada di mall tersebut. They had a show.. orchestral performance. Saya buru-buru mengambil tempat duduk di amphitheater tersebut, dan langsung menikmati suguhan orkestra yang membawakan lagu-lagu instrumental cina. Jadi rupanya konsepnya adalah orkestra dengan alat musik gesek, tiup, dan xylofon (semacem marimba dan vibraphone) tradisional china.. dipadu dengan bass betot (contra bass) dan timpani, serta juga harpa..
Walhasil suara yang dihasilkan benar-benar mistis.. saya sampai terbengong-bengong dan takjub. Waduh, di Indonesia jarang nih ada yang beginian. Kalo pun ada, paling mendekati sepertinya cuman Nusantara Orchestra. Tapi itu pun juga cuman 1-2 pieces aja yang berbau tradisional Indonesia (terutama lagu-lagu aransemen dari alm. Yazeed Djamin). Sisanya ya nomor-nomor klasik barat yang udah biasa beredar di pasaran. Walah, mosok Indonesia yang jelas-jelas lebih banyak budaya tradisionalnya jadi kalah dalam hal beginian? Saya jadi emosi neh.. he..he..
Berhubung di negara itu pas lagi saya dateng ada program yang namanya ”Art Festival”, makanya saya coba untuk melihat skedul event-nya.. event yang mungkin saya tidak bisa menikmatinya karena sudah keburu pulang ke Jakarta.. kan duit udah menipis dan untuk mencegah dibunuh oleh rekan-rekan kantor yang ketimpa pekerjaan saya.. he..he.. Skedul event-nya pun unik. Ada penampilan orkestra untuk lagu-lagu ”Lord of The Rings”, melibatkan paduan suara anak-anak dan orkestra yang besar. Juga banyak pertunjukkan balet, opera (bahkan katanya Turandot karya dari Puccini bakalan dipentaskan disitu juga) dan juga teater-teater musikal atau realis..
Indonesia, tepatnya Jakarta, sebenernya juga gak kalah. Kita punya pagelaran Jazz.. 2 kali setaon malah, kelas internasional, terus pertunjukkan-pertunjukkan seni di TIM pun juga cukup banyak, mulai dari teater, musik, bahkan tari-tarian (style barat ato style tradisional). Hanya saja, kenapa kita gak bisa seperti negara itu? Yang mengiklankan ”Art Festival”-nya sampe ke luar negaranya? Bahkan sepupu saya aja yang saya ajak nonton orkestra Cina itu sempet ngomong, ”Di Indonesia mana ada yang beginian?” Saya jadi bengong.. weleh-weleh, dia tau gak sih bahwa kita punya Nusantara ato Twilite Orkestra? Yang juga suka memaenkan nomor-nomor unik (walo gak banyak) yang bernuansa musik lokal Indonesia?
So I guess, it’s not the matter of talents.. but it’s the matter of how you do the marketing of the talents..
Senin, 16 Juni 2008
VACATION (7): SEBENARNYA INDONESIA LEBIH BAGUS, TAPI KOK KENAPA..
When we’ve decided to tour around the city (of that country) on our vacation, we have defined some amusement places or heritages to be visited. Diantaranya adalah kawasan-kawasan etnis, gedung-gedung bersejarah, dan tempat duduk-duduk yang asik untuk melihat pemandangan di kawasan kota. Sebenarnya saya ingin menambahkan museum dalam daftar. Cuman, karena sepupu saya yang hobi dugem dan Ibu saya yang anti ilmiah itu menolak untuk ikutan dalam visit museum, maka saya pun dengan rela hati meng-out-kan-nya dari list saya..
Tapi, setelah saya liat-liat.. ah.. kayaknya masih bagusan Indonesia deh..
Misalnya nih ya.. kawasan pecinannya. Ya, sama aja kayak daerah Hayam Wuruk sampe ke Mangga Dua. Malah sepertinya gak ada yang bisa ngalahin keindahan klenteng di Petak 9 yang kalo pas imlek berwarna ng-jreng itu. Pasar Glodok juga rasanya gak bisa disaingin sama pasar kawasan pecinan di negara itu. Tapi, kalo boleh menambahkan, yang hebatnya negara itu bisa menjaga keindahan gedung-gedung tua di kawasan pecinan dengan sangat baik. Gak ada cat-cat yang terkelupas, atau suasana kotor dan kumal.. and when I thought about Glodok, kalo ingat-ingat bangunan tua-nya.. sepertinya malah cocok untuk syuting-syuting film Horror.. saking kumalnya.. he..he..
Diujung kawasan pecinan, terdapat Kuil Hindu-nya orang-orang Tamil. Rame-rame para turis berfoto disitu dan masuk ke dalam. Yang paling menarik dari kuil itu adalah, gapura-nya terdapat atap yang dihiasi patung-patung dewa-dewa Hindu ratusan buah, kecil-kecil, sehingga terbentuk seperti pohon cemara dalam ukuran besar. Yang menyedihkan adalah.. di Medan (Oh, Medan, hopefully my manager has a good intention to send me again for a business trip there on this year, he..he..). Di Medan, ada juga kuil Hindu di Kampung Keling.. dan.. juauh lebih buagus dan besar! But, saya sadar, dibandingkan ke Medan, turis-turis asing itu jelas lebih rela untuk mengeluarkan duit dateng ke negara tersebut dong..
Tapi mungkin kalo untuk kawasan India-nya.. wah.. rasanya belum ada yang bisa mengalahkan negara itu. Soalnya bandingan saya cuman Pasar Baru dan Mayestik aja sih. Dikedua kawasan itu banyak orang India-nya. Selebihnya, saya gak tau. Jadi, buat mereka yang tau ada Kawasan India di Jakarta selain 2 tempat itu, please inform me. Di negara itu, kawasan India-nya punya department store yang buka 24 jam. Dan jual segala macem barang! Saya sampe takjub. Coklat-coklat yang gak ada di Indonesia, bahkan DVD-DVD film-film klasik Hollywood (taon 40-50-an) dan 2 novel klasik (karangan Henry Fielding dan George Elliot) juga saya dapatkan disitu dengan harga murah..
Juga ketika ada slogan dari suatu wahana, ”Come and see the wonderful city light of this country from here..,” saya jadi mo tertawa. Soalnya, kalo dibandingin sama Sudirman, city light di negara itu jelas gak ada apa-apanya. Jauh lebih metropolis Jakarta.. itu pun juga belum digabung sama Kuningan, Thamrin.. wah.. kalah deh.. Tapi jangan tanya soal kerapihan taman dan tata kota-nya ya. Kalo itu Jakarta terpaksa mesti gigit jari, since that I feel there are no enough trees to cover the street of Jakarta nowadays. Beda banget sama di sono yang pohonnya masih rimbun-rimbun, tertata rapih, padahal di daerah Metropolis pula..
Juga pas saya diajak oleh sepupu saya untuk makan di kawasan yg namanya Si-Ke (disingkat). Konsepnya di tepi sungai, dan romantis. Memang bener sih, pas dilihat, it was so wonderful. Dan tiba-tiba saya teringat kepada Batavia Gading City di kawasan Kelapa Gading. Hmm.. sepertinya (lagi-lagi) kawasan ini masih kalah deh. Apalagi kalo ke Bandar Jakarta di Ancol sono, wah, udah makin gak ada apa-apa-nya yang namanya Si-Ke ini. Cuman, kalo di Jakarta, mikir ke Batavia Gading ato Bandar Jakarta, udah keok duluan, mbayangin transport-nya udah capek duluan (yang paling easy cuman pake mobil pribadi, kalo pake umum.. waduh.. no commento).
Gedung-gedung bersejarah di negara itu juga terawat rapih sekali. Saya sampai takjub. Ada satu kawasan, yang jembatannya bener-bener antik, kuno, dan juga gedung-gedung-nya (diantaranya hotel dan kafe) yang bersih, rapih, seperti sudah dipugar, tapi masih tidak meninggalkan kesan kuno-nya. Sementara di Jakarta? Cuman bisa dihitung 1-2 aja. Seperti di kawasan kota, gedung-gedung tua di pelosok-pelosok jalan kecil (muat 2 mobil) sudah hancur lebur. Di negara itu? Gak ada yang seperti yang saya lukiskan. Apalagi kalo inget Semarang, tambah mo nangis lagi. Banyak gedung-gedung antik tidak terawat. Mungkin Medan dalam hal ini masih sedikit lebih baik dari Jakarta, walaupun gedung antiknya tidak sebanyak Jakarta..
Terus terang, saya sangat betah di negara itu, karena keteraturan, kebersihan dan kerapihannya. Saya baru menyadari hal itu setelah sering berjalan-jalan dengan subway (yang kadang-kadang melintas di atas Jembatan karena bumi ini kan bulat) atau bus. Saya langsung jatuh cinta melihat suasana pemandangan tata kota di negara itu.. mungkin karena saya BT dengan Jakarta yang gak rapih, pohon-pohon banyak ditebang, jalanan banyak yang berlubang, belum lagi cat-cat grafitti (ulah pemuda yang tidak bertanggung jawab) yang sering mengotori dinding pagar gedung publik..
Maybe Jakarta still has a lot of things to be taken care of (e.g. criminal and economical problems), therefore they don’t have enough time to maintain its city scenery, heritages and cultural things..
Tapi, setelah saya liat-liat.. ah.. kayaknya masih bagusan Indonesia deh..
Misalnya nih ya.. kawasan pecinannya. Ya, sama aja kayak daerah Hayam Wuruk sampe ke Mangga Dua. Malah sepertinya gak ada yang bisa ngalahin keindahan klenteng di Petak 9 yang kalo pas imlek berwarna ng-jreng itu. Pasar Glodok juga rasanya gak bisa disaingin sama pasar kawasan pecinan di negara itu. Tapi, kalo boleh menambahkan, yang hebatnya negara itu bisa menjaga keindahan gedung-gedung tua di kawasan pecinan dengan sangat baik. Gak ada cat-cat yang terkelupas, atau suasana kotor dan kumal.. and when I thought about Glodok, kalo ingat-ingat bangunan tua-nya.. sepertinya malah cocok untuk syuting-syuting film Horror.. saking kumalnya.. he..he..
Diujung kawasan pecinan, terdapat Kuil Hindu-nya orang-orang Tamil. Rame-rame para turis berfoto disitu dan masuk ke dalam. Yang paling menarik dari kuil itu adalah, gapura-nya terdapat atap yang dihiasi patung-patung dewa-dewa Hindu ratusan buah, kecil-kecil, sehingga terbentuk seperti pohon cemara dalam ukuran besar. Yang menyedihkan adalah.. di Medan (Oh, Medan, hopefully my manager has a good intention to send me again for a business trip there on this year, he..he..). Di Medan, ada juga kuil Hindu di Kampung Keling.. dan.. juauh lebih buagus dan besar! But, saya sadar, dibandingkan ke Medan, turis-turis asing itu jelas lebih rela untuk mengeluarkan duit dateng ke negara tersebut dong..
Tapi mungkin kalo untuk kawasan India-nya.. wah.. rasanya belum ada yang bisa mengalahkan negara itu. Soalnya bandingan saya cuman Pasar Baru dan Mayestik aja sih. Dikedua kawasan itu banyak orang India-nya. Selebihnya, saya gak tau. Jadi, buat mereka yang tau ada Kawasan India di Jakarta selain 2 tempat itu, please inform me. Di negara itu, kawasan India-nya punya department store yang buka 24 jam. Dan jual segala macem barang! Saya sampe takjub. Coklat-coklat yang gak ada di Indonesia, bahkan DVD-DVD film-film klasik Hollywood (taon 40-50-an) dan 2 novel klasik (karangan Henry Fielding dan George Elliot) juga saya dapatkan disitu dengan harga murah..
Juga ketika ada slogan dari suatu wahana, ”Come and see the wonderful city light of this country from here..,” saya jadi mo tertawa. Soalnya, kalo dibandingin sama Sudirman, city light di negara itu jelas gak ada apa-apanya. Jauh lebih metropolis Jakarta.. itu pun juga belum digabung sama Kuningan, Thamrin.. wah.. kalah deh.. Tapi jangan tanya soal kerapihan taman dan tata kota-nya ya. Kalo itu Jakarta terpaksa mesti gigit jari, since that I feel there are no enough trees to cover the street of Jakarta nowadays. Beda banget sama di sono yang pohonnya masih rimbun-rimbun, tertata rapih, padahal di daerah Metropolis pula..
Juga pas saya diajak oleh sepupu saya untuk makan di kawasan yg namanya Si-Ke (disingkat). Konsepnya di tepi sungai, dan romantis. Memang bener sih, pas dilihat, it was so wonderful. Dan tiba-tiba saya teringat kepada Batavia Gading City di kawasan Kelapa Gading. Hmm.. sepertinya (lagi-lagi) kawasan ini masih kalah deh. Apalagi kalo ke Bandar Jakarta di Ancol sono, wah, udah makin gak ada apa-apa-nya yang namanya Si-Ke ini. Cuman, kalo di Jakarta, mikir ke Batavia Gading ato Bandar Jakarta, udah keok duluan, mbayangin transport-nya udah capek duluan (yang paling easy cuman pake mobil pribadi, kalo pake umum.. waduh.. no commento).
Gedung-gedung bersejarah di negara itu juga terawat rapih sekali. Saya sampai takjub. Ada satu kawasan, yang jembatannya bener-bener antik, kuno, dan juga gedung-gedung-nya (diantaranya hotel dan kafe) yang bersih, rapih, seperti sudah dipugar, tapi masih tidak meninggalkan kesan kuno-nya. Sementara di Jakarta? Cuman bisa dihitung 1-2 aja. Seperti di kawasan kota, gedung-gedung tua di pelosok-pelosok jalan kecil (muat 2 mobil) sudah hancur lebur. Di negara itu? Gak ada yang seperti yang saya lukiskan. Apalagi kalo inget Semarang, tambah mo nangis lagi. Banyak gedung-gedung antik tidak terawat. Mungkin Medan dalam hal ini masih sedikit lebih baik dari Jakarta, walaupun gedung antiknya tidak sebanyak Jakarta..
Terus terang, saya sangat betah di negara itu, karena keteraturan, kebersihan dan kerapihannya. Saya baru menyadari hal itu setelah sering berjalan-jalan dengan subway (yang kadang-kadang melintas di atas Jembatan karena bumi ini kan bulat) atau bus. Saya langsung jatuh cinta melihat suasana pemandangan tata kota di negara itu.. mungkin karena saya BT dengan Jakarta yang gak rapih, pohon-pohon banyak ditebang, jalanan banyak yang berlubang, belum lagi cat-cat grafitti (ulah pemuda yang tidak bertanggung jawab) yang sering mengotori dinding pagar gedung publik..
Maybe Jakarta still has a lot of things to be taken care of (e.g. criminal and economical problems), therefore they don’t have enough time to maintain its city scenery, heritages and cultural things..
VACATION (6): BIAR BANYAK YANG GAK MINAT JADI MILITER, TAPI KOK AMAN-AMAN AJA YA NEGARANYA?
Bukan rahasia lagi kalo misalnya di negara tersebut banyak yang gak minat jadi militer.. makanya ada peraturan wajib militer (saya sering ngliat anak-anak muda sekitar SMP or SMA gitu yang pake baju loreng-loreng ijo naek bus or subway di negara itu). Dari informasi yang saya dapatkan dari salah seorang penumpang bus yang saya ajak omong, personil militer di negara itu emang kurang. Dia bertanya, kalo di Indonesia bagaimana, waduh dengan bangganya saya ngomong, ”To enter the military department in my country, is like to enter the Harvard University in America perhaps!” Rasain lu! Lu kira cuman negara lo doang yang OK?!!
Tapi pas dibales, ”So, if you have so many military personnel in your country, why did my relatives (dia punya sodara yang tinggal di Surabaya) say to me that the security condition in Indonesia is unpleasant? Like rebellion, anarchies, murdering, robbing, stealing, pick pocketing?” Gantian saya yang bengong, dan langsung mengalihkan pembicaraan kepada topik laen dong.. he..he..
Saya pun jadi penasaran, hampir setiap hari saya coba baca di koran-koran yang ada di negara itu. Emang sih, jarang-jarang ada berita pembantaian, pencurian, ato kriminal-kriminal seperti yang ada di Jakarta. Tadinya saya sempet curiga, apakah ini jangan-jangan juga ’suara paksa’ dari pemerintah negara itu yang melarang adanya pemberitaan mengenai kondisi yang sesungguhnya? Terlebih lagi saya liat toh rumah-rumah penduduk dan apartemen-apartemen yang ada di situ juga full teralis! Sementara apartemen-apartemen yang saya liat di Jakarta, pada cuek-cuek aja tuh gak ada yang pasang teralis..
But at last, I saw it by myself..
Sebelum-sebelumnya saya biasa nginap di hotel kalo ke negara itu. Baru kali ini I’ve decided to rent an apartement. Soalnya biasanya kantor Bapak saya emang make apartemen ini untuk dinas bisnis-nya. Berhubung sehabis 2 hari urusan bisnis itu belum ada yang nyewa lagi, jadinya saya teruskan menyewa untuk hari-hari berikutnya. Dan tinggal di kawasan yang ’merakyat’ seperti itu, bisa membuat saya memahami kehidupan sehari-hari orang-orang yang tinggal di negara itu.
Sekitar jam 23, sehabis kalap belanja sana-sini.. saya berjalan kaki menuju apartemen penginapan saya. Sepi, gelap-gelap banget juga gak sih, tapi pokoknya kalo saya dirampok ato dicopet pun disitu sepertinya bakalan gak ada yang tau (tapi katanya sih di negara itu udah full CCTV dari setiap sudut.. jadi bakalan ketauan). Tiba-tiba aja ada pengendara motor yang bagus banget.. menghentikan motornya di pinggir trotoar situ, dan cuman mengunci motornya.. meletakkan helm-nya di atas sadel, tanpa mengunci dengan pengaman apa pun, dan melenggang kangkung meninggalkan motornya terparkir disitu.. Saya hampir aja berteriak, ”Eh, Mas, Mas.. kayaknya ada yang kelupaan deh..” he..he..
And it explained a lot, seperti misalnya sepupu saya kehilangan jinjingan belanjaan di salah 1 mall di negara itu, dia tersadar setelah 1 jam. Dia buru-buru balik ke mall itu, dan bertanya ke security. Ajaibnya.. jinjingan belanjaannya masih utuh! Berarti memang yang namanya keamanan di negara itu rasanya sudah mendarah daging ‘by philoposhy’ untuk semua penduduknya.
So, aman atau tidak, rasanya kita tetap mesti berbangga, bahwa untuk masuk menjadi Army di negara ini you have to be the best dalam hal fisik dan otak..
Tapi pas dibales, ”So, if you have so many military personnel in your country, why did my relatives (dia punya sodara yang tinggal di Surabaya) say to me that the security condition in Indonesia is unpleasant? Like rebellion, anarchies, murdering, robbing, stealing, pick pocketing?” Gantian saya yang bengong, dan langsung mengalihkan pembicaraan kepada topik laen dong.. he..he..
Saya pun jadi penasaran, hampir setiap hari saya coba baca di koran-koran yang ada di negara itu. Emang sih, jarang-jarang ada berita pembantaian, pencurian, ato kriminal-kriminal seperti yang ada di Jakarta. Tadinya saya sempet curiga, apakah ini jangan-jangan juga ’suara paksa’ dari pemerintah negara itu yang melarang adanya pemberitaan mengenai kondisi yang sesungguhnya? Terlebih lagi saya liat toh rumah-rumah penduduk dan apartemen-apartemen yang ada di situ juga full teralis! Sementara apartemen-apartemen yang saya liat di Jakarta, pada cuek-cuek aja tuh gak ada yang pasang teralis..
But at last, I saw it by myself..
Sebelum-sebelumnya saya biasa nginap di hotel kalo ke negara itu. Baru kali ini I’ve decided to rent an apartement. Soalnya biasanya kantor Bapak saya emang make apartemen ini untuk dinas bisnis-nya. Berhubung sehabis 2 hari urusan bisnis itu belum ada yang nyewa lagi, jadinya saya teruskan menyewa untuk hari-hari berikutnya. Dan tinggal di kawasan yang ’merakyat’ seperti itu, bisa membuat saya memahami kehidupan sehari-hari orang-orang yang tinggal di negara itu.
Sekitar jam 23, sehabis kalap belanja sana-sini.. saya berjalan kaki menuju apartemen penginapan saya. Sepi, gelap-gelap banget juga gak sih, tapi pokoknya kalo saya dirampok ato dicopet pun disitu sepertinya bakalan gak ada yang tau (tapi katanya sih di negara itu udah full CCTV dari setiap sudut.. jadi bakalan ketauan). Tiba-tiba aja ada pengendara motor yang bagus banget.. menghentikan motornya di pinggir trotoar situ, dan cuman mengunci motornya.. meletakkan helm-nya di atas sadel, tanpa mengunci dengan pengaman apa pun, dan melenggang kangkung meninggalkan motornya terparkir disitu.. Saya hampir aja berteriak, ”Eh, Mas, Mas.. kayaknya ada yang kelupaan deh..” he..he..
And it explained a lot, seperti misalnya sepupu saya kehilangan jinjingan belanjaan di salah 1 mall di negara itu, dia tersadar setelah 1 jam. Dia buru-buru balik ke mall itu, dan bertanya ke security. Ajaibnya.. jinjingan belanjaannya masih utuh! Berarti memang yang namanya keamanan di negara itu rasanya sudah mendarah daging ‘by philoposhy’ untuk semua penduduknya.
So, aman atau tidak, rasanya kita tetap mesti berbangga, bahwa untuk masuk menjadi Army di negara ini you have to be the best dalam hal fisik dan otak..
VACATION (5): PUBLIC TRANSPORTATION IN THAT COUNTRY? OKE DEEEE.. IN INDONESIA? CAPEE DEEEE..
This was my first time to use public transportation in that country, since my cousin has joined me. I’ve never done that before. 4 times I’ve came to that country, and I always used taxi should I wanted to go to the place which was far away from my motel, or took a walk to go to the area which was nearly from my temporary residence..
Sepupu saya ini udah 10 kali ke negara itu! Karena dia sadar bahwa taxi fare was so expensive, makanya dia nekat (berbekal tanya-tanya kepada teman-temannya yang tinggal di negara itu) bagaimana cara menggunakan public transportation. Dan, dia juga yang mengajarkan kepada saya tentang naik bis, naik subway, kumplit beserta cara-cara membaca jalur yang saya pikir di negara itu emang OK banget informasi mengenai public transportation-nya..
Subway misalnya.. pas mo naik.. beli tiket pun juga gampang. All computerized. Bahkan ada petugas yang siap ditanya-tanya, serta memberikan petunjuk lengkap dengan peta kecil. Tarifnya pun juga murah (tapi tolong jangan di-kurs ke Rupiah ya.. he..he..). Dan, buset.. cepet banget! Karena saya pikir dimana-mana yang namanya public transportation pasti lama, seperti menunggu Busway (yang diproklamirkan paling ’cepat’ di Jakarta), makanya sambil menunggu subway datang, saya iseng-iseng membaca salah 1 buku yang baru saya beli. Baru saja setengah halaman, tiba-tiba subway-nya udah dateng, persis kayak kereta kencana Arjuna dari Nirwarna! Sementara kalo menunggu Busway.. pernah saya menghabiskan.. 3 halaman koran! Seluruh artikelnya sudah saya baca! Dan busway-nya baru datang.. itu pun juga penuh.. dan saya nggak bisa naik! I had to wait for another bus to come.. buset dah!
Bus umum pun juga sama OK-nya.. emang lebih agak lama dari Subway sih, tapi nyaman banget. Dingin pula (oya, subway itu dingin sekali AC-nya.. persis seperti di mall-mall deh). Cara bayarnya juga enak (tinggal masukkan koin ke tempat pembayaran), Halte-nya juga informatif. Gak perlu ketrampilan khusus seperti di Jakarta kalo mo naek Bus. Berhubung di Jakarta kalo naek bus harus gesit seperti tarzan kota, makanya saya sempet bikin orang-orang disitu melongo, pas mo nyegat bus, melambai-lambaikan tangan, padahal bukan di halte (bus di negara tersebut gak ada yang mo berhenti kalo bukan di halte). Ketambahan, pas mo turun di tempat tujuan, even itu di halte, saya kelepasan untuk menjentikkan jari saya ke atap bus seperti di Jakarta (memberi kode bahwa ada yang mo turun). Supir bus-nya bahkan sampai melihat ke saya sambil mengrenyitkan dahi seakan-akan saya perusuh revolusioner dari negara di belahan dunia ketiga! He..he...
Ya maklum lah Mas, terbiasa survive di tengah-tengah lembah belantara.. kalo lo yang di Jakarta.. gue jamin lo bakalan kapok naek bus deh Mas.. he..he..
Baik subway mau pun bus semua dirancang dengan baik, juga bersih, dan menjangkau ke daerah-daerah plosok. Coba seperti busway, manalah nyampe ke daerah rumah saya? Sementara naek kereta api, menuju ke stasiunnya pun juga penuh perjuangan. Belum lagi liat kiri kanan dan waspada takut kecopetan atau dirampok. Di negara itu semua orang cuek-cuek aja di subway atau di bus memaenkan laptop atau PDA bahkan! Di Jakarta sini? Wuehehehehe.. you are really INCREDIBLE HULK should you dare to do the things like that!
Jadi, yah.. kalo selama public transportation di Jakarta masih belum seperti di negara tersebut.. daripada ”cape deeee..” di hati dan di badan.. mendingan ”cape deee..” di dompet gara-gara BBM naik, tapi masih lebih nyaman naek mobil sendiri, walo kadang-kadang macetnya gak ketulungan..
Cape deeee..
Sepupu saya ini udah 10 kali ke negara itu! Karena dia sadar bahwa taxi fare was so expensive, makanya dia nekat (berbekal tanya-tanya kepada teman-temannya yang tinggal di negara itu) bagaimana cara menggunakan public transportation. Dan, dia juga yang mengajarkan kepada saya tentang naik bis, naik subway, kumplit beserta cara-cara membaca jalur yang saya pikir di negara itu emang OK banget informasi mengenai public transportation-nya..
Subway misalnya.. pas mo naik.. beli tiket pun juga gampang. All computerized. Bahkan ada petugas yang siap ditanya-tanya, serta memberikan petunjuk lengkap dengan peta kecil. Tarifnya pun juga murah (tapi tolong jangan di-kurs ke Rupiah ya.. he..he..). Dan, buset.. cepet banget! Karena saya pikir dimana-mana yang namanya public transportation pasti lama, seperti menunggu Busway (yang diproklamirkan paling ’cepat’ di Jakarta), makanya sambil menunggu subway datang, saya iseng-iseng membaca salah 1 buku yang baru saya beli. Baru saja setengah halaman, tiba-tiba subway-nya udah dateng, persis kayak kereta kencana Arjuna dari Nirwarna! Sementara kalo menunggu Busway.. pernah saya menghabiskan.. 3 halaman koran! Seluruh artikelnya sudah saya baca! Dan busway-nya baru datang.. itu pun juga penuh.. dan saya nggak bisa naik! I had to wait for another bus to come.. buset dah!
Bus umum pun juga sama OK-nya.. emang lebih agak lama dari Subway sih, tapi nyaman banget. Dingin pula (oya, subway itu dingin sekali AC-nya.. persis seperti di mall-mall deh). Cara bayarnya juga enak (tinggal masukkan koin ke tempat pembayaran), Halte-nya juga informatif. Gak perlu ketrampilan khusus seperti di Jakarta kalo mo naek Bus. Berhubung di Jakarta kalo naek bus harus gesit seperti tarzan kota, makanya saya sempet bikin orang-orang disitu melongo, pas mo nyegat bus, melambai-lambaikan tangan, padahal bukan di halte (bus di negara tersebut gak ada yang mo berhenti kalo bukan di halte). Ketambahan, pas mo turun di tempat tujuan, even itu di halte, saya kelepasan untuk menjentikkan jari saya ke atap bus seperti di Jakarta (memberi kode bahwa ada yang mo turun). Supir bus-nya bahkan sampai melihat ke saya sambil mengrenyitkan dahi seakan-akan saya perusuh revolusioner dari negara di belahan dunia ketiga! He..he...
Ya maklum lah Mas, terbiasa survive di tengah-tengah lembah belantara.. kalo lo yang di Jakarta.. gue jamin lo bakalan kapok naek bus deh Mas.. he..he..
Baik subway mau pun bus semua dirancang dengan baik, juga bersih, dan menjangkau ke daerah-daerah plosok. Coba seperti busway, manalah nyampe ke daerah rumah saya? Sementara naek kereta api, menuju ke stasiunnya pun juga penuh perjuangan. Belum lagi liat kiri kanan dan waspada takut kecopetan atau dirampok. Di negara itu semua orang cuek-cuek aja di subway atau di bus memaenkan laptop atau PDA bahkan! Di Jakarta sini? Wuehehehehe.. you are really INCREDIBLE HULK should you dare to do the things like that!
Jadi, yah.. kalo selama public transportation di Jakarta masih belum seperti di negara tersebut.. daripada ”cape deeee..” di hati dan di badan.. mendingan ”cape deee..” di dompet gara-gara BBM naik, tapi masih lebih nyaman naek mobil sendiri, walo kadang-kadang macetnya gak ketulungan..
Cape deeee..
VACATION (4): BOOKS & READING..
One of the reason that I want to go so much to that country is, the collection of its book. At the first time when I visited that country, I was so impressed with its bookstores. Usually they were large at scale, and contained with a lot of books that you couldn’t find in Jakarta. And I still felt the same way about it at my latest presence on that country..
Too bad, I didn’t come to the largest bookstore there like my friend suggested me (the name of the store is ‘B’, to be exact), since I had to divide my time to go on shopping other things and seeing heritages as well. And not to mention that my cousin came to join me in the 3rd day, and his preference on enjoying another entertainment as well (especially ‘night entertainment’) also influenced me to go with him and ignored my motivation to go to every bookstore that I meet along the way.. he..he..
Sebenernya sih di Jakarta pun juga banyak toko-toko buku yang besar-besar. Tapi, sayangnya nih, kadang-kadang koleksi buku-buku sastra-nya agak kurang. Baik lokal, interlokal, regional, mau pun internasional. Untuk buku fiksi misalnya, masih banyak dijual berupa buku-buku yang ’light reading’ ato yg ’popular’. Kalo untuk buku-buku yang bersifat praktek, teknis, mau pun textbook keilmuan, baik di Jakarta mau pun di negara itu has the same condition and the same quality, I guess..
Mungkin, ini juga dipengaruhi oleh kegemaran banyak orang di negara itu untuk membaca. Saya kadang-kadang melihat, di tepi taman, mereka duduk sambil membaca. Demikian pula di restoran, ato bahkan kadang-kadang di bis mau pun di subway. Dan kalo saya perhatikan, buku-buku yang mereka baca itu adalah fiksi-fiksi sastra yang sering dinilai oleh para kritikus dengan quality minimum ”a must read”..
Di Jakarta, saya belum bisa menjumpai fenomena ini. Even I really couldn’t encourage myself to do such a thing like that. Sebagai contoh, saya sering bosan menunggu antrean ATM yang membludak di gedung kantor saya tiap kali tanggal gajian. Akhirnya setelah beberapa kali mengalami hal tersebut, I decided to read a book while queuing on the ATM area. You know what? One of my friend who saw me reading just said, “Ya ampun, lo serius amat sih! Hepi-hepi dikit kek..” Saya langsung keok dan membatalkan niat saya untuk membaca sambil ngantri.. he..he..
Juga misalnya kalo berjalan dari tempat parkir ke gedung kantor (yang jauhnya bujubuneng), saya sering berjalan sambil membaca, just to fill the spare time, instead of just walking by. Tapi, kok (entah mungkin ini cuman perasaan saya saja) I felt a lot of people were staring at me like I was the kind of Alien that came from Mars or Jupiter.. he..he.. So, again, I’ve decided not to do that thing anymore.
Tapi, untuk skala yang lebih nasionalnya, kita bisa lihat dari perpustakaan nasionalnya. Di negara tersebut, perpustakaan nasionalnya bener-bener KEREN SEKALI! Dan kumplit! Saya sampe ternganga-nganga ketika melihat bangunannya dan melihat koleksi yang dimilikinya. I thought at the first time it was the building of one mall, soalnya hi-tech sekali. Dan saya langsung memelas kalo mengingat gedung perpustakaan nasional yang ada di Jakarta. Saya pikir juga, nggak usah perlu jauh-jauh untuk membahas sampai ke koleksinya..
Gak heran kalo negara tersebut jadi maju banget. Saya juga yakin, salah satunya karena kegemaran membaca, dan bagaimana negara tersebut meng-encourage penduduknya untuk punya taste kesusasteraan yang baik. Gemar membaca nilai sastra dapat meningkatkan nilai budaya dari para individu, yang juga akhirnya bisa meningkatkan etos kerja dalam profesi yang dijalaninya (dengan pengasahan pikiran yang tajam). Bukan hanya melulu dijejali dengan bacaan teknis dan textbook saja, tapi seorang profesional dengan etos kerja yang baik harus juga mengerti nilai-nilai humanistis yang biasanya banyak terdapat dalam karya-karya sastra.. itu sih kata ahli sastra peraih Nobel.. bukan saya lah.. he..he..
I remembered before leaving that country after my vacation was over, I saw the slogan on the public leaflet “Month of Reading”, and the leaflet also listed some kind of literatures that the government suggested people to read, also the bookstores gave a discount of 20-30% for any purchasing of the literatures that were listed by the government (along the line of “Month of Reading”)..
And when I arrived in Jakarta.. The Indonesian government was still battling around with the protester regarding the upraising of oil price..
That’s why they really did not have any idea to make “A Month of Reading” perhaps..
Too bad, I didn’t come to the largest bookstore there like my friend suggested me (the name of the store is ‘B’, to be exact), since I had to divide my time to go on shopping other things and seeing heritages as well. And not to mention that my cousin came to join me in the 3rd day, and his preference on enjoying another entertainment as well (especially ‘night entertainment’) also influenced me to go with him and ignored my motivation to go to every bookstore that I meet along the way.. he..he..
Sebenernya sih di Jakarta pun juga banyak toko-toko buku yang besar-besar. Tapi, sayangnya nih, kadang-kadang koleksi buku-buku sastra-nya agak kurang. Baik lokal, interlokal, regional, mau pun internasional. Untuk buku fiksi misalnya, masih banyak dijual berupa buku-buku yang ’light reading’ ato yg ’popular’. Kalo untuk buku-buku yang bersifat praktek, teknis, mau pun textbook keilmuan, baik di Jakarta mau pun di negara itu has the same condition and the same quality, I guess..
Mungkin, ini juga dipengaruhi oleh kegemaran banyak orang di negara itu untuk membaca. Saya kadang-kadang melihat, di tepi taman, mereka duduk sambil membaca. Demikian pula di restoran, ato bahkan kadang-kadang di bis mau pun di subway. Dan kalo saya perhatikan, buku-buku yang mereka baca itu adalah fiksi-fiksi sastra yang sering dinilai oleh para kritikus dengan quality minimum ”a must read”..
Di Jakarta, saya belum bisa menjumpai fenomena ini. Even I really couldn’t encourage myself to do such a thing like that. Sebagai contoh, saya sering bosan menunggu antrean ATM yang membludak di gedung kantor saya tiap kali tanggal gajian. Akhirnya setelah beberapa kali mengalami hal tersebut, I decided to read a book while queuing on the ATM area. You know what? One of my friend who saw me reading just said, “Ya ampun, lo serius amat sih! Hepi-hepi dikit kek..” Saya langsung keok dan membatalkan niat saya untuk membaca sambil ngantri.. he..he..
Juga misalnya kalo berjalan dari tempat parkir ke gedung kantor (yang jauhnya bujubuneng), saya sering berjalan sambil membaca, just to fill the spare time, instead of just walking by. Tapi, kok (entah mungkin ini cuman perasaan saya saja) I felt a lot of people were staring at me like I was the kind of Alien that came from Mars or Jupiter.. he..he.. So, again, I’ve decided not to do that thing anymore.
Tapi, untuk skala yang lebih nasionalnya, kita bisa lihat dari perpustakaan nasionalnya. Di negara tersebut, perpustakaan nasionalnya bener-bener KEREN SEKALI! Dan kumplit! Saya sampe ternganga-nganga ketika melihat bangunannya dan melihat koleksi yang dimilikinya. I thought at the first time it was the building of one mall, soalnya hi-tech sekali. Dan saya langsung memelas kalo mengingat gedung perpustakaan nasional yang ada di Jakarta. Saya pikir juga, nggak usah perlu jauh-jauh untuk membahas sampai ke koleksinya..
Gak heran kalo negara tersebut jadi maju banget. Saya juga yakin, salah satunya karena kegemaran membaca, dan bagaimana negara tersebut meng-encourage penduduknya untuk punya taste kesusasteraan yang baik. Gemar membaca nilai sastra dapat meningkatkan nilai budaya dari para individu, yang juga akhirnya bisa meningkatkan etos kerja dalam profesi yang dijalaninya (dengan pengasahan pikiran yang tajam). Bukan hanya melulu dijejali dengan bacaan teknis dan textbook saja, tapi seorang profesional dengan etos kerja yang baik harus juga mengerti nilai-nilai humanistis yang biasanya banyak terdapat dalam karya-karya sastra.. itu sih kata ahli sastra peraih Nobel.. bukan saya lah.. he..he..
I remembered before leaving that country after my vacation was over, I saw the slogan on the public leaflet “Month of Reading”, and the leaflet also listed some kind of literatures that the government suggested people to read, also the bookstores gave a discount of 20-30% for any purchasing of the literatures that were listed by the government (along the line of “Month of Reading”)..
And when I arrived in Jakarta.. The Indonesian government was still battling around with the protester regarding the upraising of oil price..
That’s why they really did not have any idea to make “A Month of Reading” perhaps..
VACATION (3): CAN’T TALK IN A FOREIGN LANGUAGE? JUST USING TELEPATHY INSTEAD.. ;)
Bisa berbicara Bahasa Inggris dengan baik dan benar mungkin justru tidak banyak membantu apabila pengen survive di negara ini. Soalnya, logat orang-orang di sini kalo bicara Bahasa Inggris, ancur lebur! Seperti perang Iran-Irak! He..he.. Dan, tata bahasanya, juga ngaco abis!
Karena membantu Bapak dalam berbisnis, dan bernego dengan para pelaku bisnis yang notabene orang asing dengan Bahasa Inggris agak-agak ’ngaco’, maka bekal Bahasa Inggris saya yang emang juga udah pas-pas-an, ditambah dengan lafal saya yang masih banyak dialek Sunda dan Betawinya semakin memperkeruh suasana.. he..he..
Sebut saja, kalo misalnya mo membicarakan jumlah bilangan, instead ngomong fifty-two thousand and three hundreds untuk 52.300, malah yang ada mereka ngomongnya, ”Five, two, three, o, o..,” Saya sampe jadi ngitung pake jari-jari lagi persis kayak taon pertama saya masuk TK! Demi mengartikan kalimatnya supaya bisa dicerna ke dalam otak saya..
Belum lagi akhir-akhir ini saya kebanyakan baca buku-buku berbahasa Inggris yang nyastra sekali gaya bahasanya.. semacem novel Jane Austen, Virginia Woolf.. dan, sukseslah gaya bahasa saya pas nego sama rekan-rekan bisnis Bapak saya penuh dengan bunga-bunga seperti kata-kata ’circumstance’ yang simpelnya adalah ’condition’, atau ’indeed’ yang simpelnya ’really’, ato juga ’delicate’ yang simpelnya ’good’. Jadi, saya bener-bener sukses bikin rekan-rekan bisnis Bapak saya terbengong-bengong kayak sapi ompong! Dikira, ”Ni anak lagi jadi aktor untuk drama-drama klasik ato lagi nego sih?” He..he..
Ternyata gaya bahasa gitu juga digunakan di toko-toko di negara itu. Ini juga bikin Ibu saya jadi keder. Soalnya, dia naksir tas merek ’gentong’ yang kondang gulindang itu diseantero dunia. Di Jakarta, merek itu bisa berharga sampe.. hmm.. puluhan juta kali. Pas dia liat di sono, iseng-iseng dia nanya ke pramuniaganya, yang disambut dengan jawaban, ”One one two dollars,” Langsung dong Ibu saya berlari ke arah saya dengan panik, ”Eh.. eh.. gila deh! Tas ”gentong”, 112 dollar!”
Saya yang memang selalu penuh dengan kecurigaan.. langsung menuju ke pramuniaga dan nanya dengan clear, ”How much is the price for this bag?” Pramuniaganya njawab, “One one one two dollars!” Saya bales, “One thousand?” Dia jawab, “Yes!” Langsung saya melotot ke Ibu saya. Tau gak Ibu saya ngomong apa? “Yee, salah dia tuh. Ngomongnya gak jelas. Gue pikir ‘One One Two Dollars!’,” Well, I really couldn’t imagine that if my mom would have taken that bag.. jangan-jangan kita sekeluarga mesti jadi TKI di Arab untuk nebus utang kredit card kita gara-gara beli tas itu.. he..he..
Sebenernya gak usah jauh-jauh sampe ke sono sih, miskomunikasi bahasa seperti itu juga pernah terjadi pas saya di Jakarta, sekitar taon 97. Waktu itu saya lagi manggung di salah satu acara musik jazz, yang kebetulan disitu bakal tampil salah satu violis jazz wanita terkenal (orang Indonesia) di taon 80-90-an, bersama suaminya yang berkebangsaan Belanda. Suaminya ini adalah pemaen piano, yang kebetulan malem itu gak bawa keyboard. Jadi, dia bermaksud untuk minjem keyboard saya yang kebetulan stayed on the stage for that night.
Karena dia gak ngerti cara make fitur yang ada keyboard saya, makanya dia nanya-nanya saya tentang gimana cara mengoperasikan keyboard saya. Waduh, berhubung Bahasa Inggris kami berdua pas-pas-an, ditambah dialek Sunda saya masih kental banget waktu itu, maka kalimat-kalimat seperti, “This (sambil nunjuk tombol), for maximizing the volume. Nah, eta tah (bahasa Sundanya ‘itu’, sambil saya nunjuk tombol di ujung), for choosing the rhythm.. For balancing the volume of this (sambil nunjuk tuts nada, soalnya saya gak ngerti apaan ya bahasa inggrisnya.. he..he..), use that (sambil nunjuk ke ujung kiri).. you just control this and that and that and this (sambil menunjuk-nunjukkan jari dari ujung barat sampe ujung timur) with your feeling.. for good.. you know?”
Nah, anehnya, dengan Bahasa Inggris ala tarzan saya seperti itu, dia ngerti looooh. Toh, langsung dia cetak-cetek tombol keyboard saya, dan ternyata suara keyboard saya.. jadi OK juga ditangannya.
Hmm.. I think.. we don’t need to have a good understanding in foreign language..
But.. we really need to know how to use our telepathy in the proper way instead.. ;P
Karena membantu Bapak dalam berbisnis, dan bernego dengan para pelaku bisnis yang notabene orang asing dengan Bahasa Inggris agak-agak ’ngaco’, maka bekal Bahasa Inggris saya yang emang juga udah pas-pas-an, ditambah dengan lafal saya yang masih banyak dialek Sunda dan Betawinya semakin memperkeruh suasana.. he..he..
Sebut saja, kalo misalnya mo membicarakan jumlah bilangan, instead ngomong fifty-two thousand and three hundreds untuk 52.300, malah yang ada mereka ngomongnya, ”Five, two, three, o, o..,” Saya sampe jadi ngitung pake jari-jari lagi persis kayak taon pertama saya masuk TK! Demi mengartikan kalimatnya supaya bisa dicerna ke dalam otak saya..
Belum lagi akhir-akhir ini saya kebanyakan baca buku-buku berbahasa Inggris yang nyastra sekali gaya bahasanya.. semacem novel Jane Austen, Virginia Woolf.. dan, sukseslah gaya bahasa saya pas nego sama rekan-rekan bisnis Bapak saya penuh dengan bunga-bunga seperti kata-kata ’circumstance’ yang simpelnya adalah ’condition’, atau ’indeed’ yang simpelnya ’really’, ato juga ’delicate’ yang simpelnya ’good’. Jadi, saya bener-bener sukses bikin rekan-rekan bisnis Bapak saya terbengong-bengong kayak sapi ompong! Dikira, ”Ni anak lagi jadi aktor untuk drama-drama klasik ato lagi nego sih?” He..he..
Ternyata gaya bahasa gitu juga digunakan di toko-toko di negara itu. Ini juga bikin Ibu saya jadi keder. Soalnya, dia naksir tas merek ’gentong’ yang kondang gulindang itu diseantero dunia. Di Jakarta, merek itu bisa berharga sampe.. hmm.. puluhan juta kali. Pas dia liat di sono, iseng-iseng dia nanya ke pramuniaganya, yang disambut dengan jawaban, ”One one two dollars,” Langsung dong Ibu saya berlari ke arah saya dengan panik, ”Eh.. eh.. gila deh! Tas ”gentong”, 112 dollar!”
Saya yang memang selalu penuh dengan kecurigaan.. langsung menuju ke pramuniaga dan nanya dengan clear, ”How much is the price for this bag?” Pramuniaganya njawab, “One one one two dollars!” Saya bales, “One thousand?” Dia jawab, “Yes!” Langsung saya melotot ke Ibu saya. Tau gak Ibu saya ngomong apa? “Yee, salah dia tuh. Ngomongnya gak jelas. Gue pikir ‘One One Two Dollars!’,” Well, I really couldn’t imagine that if my mom would have taken that bag.. jangan-jangan kita sekeluarga mesti jadi TKI di Arab untuk nebus utang kredit card kita gara-gara beli tas itu.. he..he..
Sebenernya gak usah jauh-jauh sampe ke sono sih, miskomunikasi bahasa seperti itu juga pernah terjadi pas saya di Jakarta, sekitar taon 97. Waktu itu saya lagi manggung di salah satu acara musik jazz, yang kebetulan disitu bakal tampil salah satu violis jazz wanita terkenal (orang Indonesia) di taon 80-90-an, bersama suaminya yang berkebangsaan Belanda. Suaminya ini adalah pemaen piano, yang kebetulan malem itu gak bawa keyboard. Jadi, dia bermaksud untuk minjem keyboard saya yang kebetulan stayed on the stage for that night.
Karena dia gak ngerti cara make fitur yang ada keyboard saya, makanya dia nanya-nanya saya tentang gimana cara mengoperasikan keyboard saya. Waduh, berhubung Bahasa Inggris kami berdua pas-pas-an, ditambah dialek Sunda saya masih kental banget waktu itu, maka kalimat-kalimat seperti, “This (sambil nunjuk tombol), for maximizing the volume. Nah, eta tah (bahasa Sundanya ‘itu’, sambil saya nunjuk tombol di ujung), for choosing the rhythm.. For balancing the volume of this (sambil nunjuk tuts nada, soalnya saya gak ngerti apaan ya bahasa inggrisnya.. he..he..), use that (sambil nunjuk ke ujung kiri).. you just control this and that and that and this (sambil menunjuk-nunjukkan jari dari ujung barat sampe ujung timur) with your feeling.. for good.. you know?”
Nah, anehnya, dengan Bahasa Inggris ala tarzan saya seperti itu, dia ngerti looooh. Toh, langsung dia cetak-cetek tombol keyboard saya, dan ternyata suara keyboard saya.. jadi OK juga ditangannya.
Hmm.. I think.. we don’t need to have a good understanding in foreign language..
But.. we really need to know how to use our telepathy in the proper way instead.. ;P
VACATION (2): WANNA HAVE A BEST RESULT? LEAVE YOUR FATHER AT HOME.. ;P
For my parents, and those who really know my parents well.. please ignore this article.. ;P
Like I said in Vacation (1), sebenernya ada pun saya ngambil cuti kali ini adalah sekalian bantu-bantu bisnis Bapak saya. Kebetulan Bapak saya lagi ada negosiasi selama 2 hari di negeri tersebut, dan dia butuh orang yang ngerti tentang finance, accounting serta perpajakan. Mengingat biasanya rekan bisnisnya lumayan bawel untuk hal-hal seperti itu, dan orang kepercayaan Bapak saya yang biasanya ngurus-ngurus hal itu lagi can’t make any business trip, since he was doing another business trip at that time..
Pas saya bilang bahwa saya mo melanjutkan untuk tetep stay sekitar 3 days di negara itu (dan dilanjutkan 2 hari di negara lain yang deket-deket dari negara itu) sehabis urusan bisnis Bapak (dan saya) kelar, entah kenapa tiba-tiba Bapak ngomong, “Ah, gue ikutan juga..,” dan mereskedul jadwal-jadwal bisnisnya di Jakarta untuk diserahkan ke orang lain pada saat beliau cuti. Ibu saya yang emang juga udah kepengen ikut dari awal (maksud beliau, selama kita berdua kerja, beliau jalan-jalan sendiri aja) juga ikut memperpanjang length of holiday-nya..
Kumplit dah 1 batalyon, anak udah jomlo uzur begeneh masih dikawal sama Bapak Ibu-nya.. he..he..
Dan..
Really, Bapak saya ini.. haaddduuuuhh.. rese-nyaaa minta ampun. Kalo dirumah sih udah ketauan jelas emang rese.. he..he.. Tapi berhubung kalo di rumah itu kan kegiatan kita kadang-kadang beragam, dan suka gak keep in touch satu sama lain when we’re doing our private business, so jadi yang bener-bener kerasa rese-nya adalah pas liburan kali ini..
Sebagai yang sudah ditakdirkan, yang banyak jadi sasaran (saya juga kena, but not too much..) ya.. Ibu saya.. ya wajar dong, dia kan istrinya.. she is supposed to take that risk ;P
Misalnya nih, waktu itu Ibu saya ke satu departemen store yang lumayan kumplit di negara itu, dan naksir pajangan buah-buahan yang dikemas dalam botol kaca dan ada airnya, Bapak saya ngomel-ngomel, ”Apaan sih? Beli begituan dibawanya susah lah!!” Tapi dasar Ibu saya nekat.. dia tetep beli dan membawanya dengan hati-hati, like to guard her virginity when she was a teenager perhaps.. he..he..
Ternyata, pas lagi rush cari-cari kunci penginapan di depan pintu, Ibu saya lupa akan barangnya itu. Jadinya, barangnya pindah ke tangan Bapak saya. Sebagai orang yang slebor dan cukup kasar, sukseslah pajangan itu.. PECAH! Gara-gara kepentok pintu penginapan, dan memang gak ada niat baik sama sekali dari Bapak untuk menjaga pajangan itu sih. Bukannya minta maaf karena mecahin, Bapak saya malah tambah ganas, ”Tuh kan?!! Gue bilang apa?!! Makanya.. kan gue udah bilang, gak usah beli-beli gituan!!”
Liat Ibu saya mangkel.. kok saya malah tambah geli ya.. he..he..
Itu juga masih berlanjut keesokan harinya.. (ini kata beliau, soalnya saya gak liat sendiri, saya kan misah, demi ketentraman nasional.. he..he..) Kalo Ibu saya mo beli ini ato itu along the way, biasanya Bapak saya mencak-mencak, ”Ngapain sih? Susah dibawanya tau!” Dan, kebetulan Bapak saya itu emang penggemar jalan-jalan ke daerah yang suasananya seperti Pasar Jatinegara atau Pasar Glodok, jadinya when my mom wanted to go to the mall or exclusive department store, biasanya Bapak saya agak ogah-ogah-an, dan ke-rese-annya mulai timbul.. Sementara kalo jalan-jalan ke ‘kawasannya’, giliran Ibu saya yang mukanya seperti ‘kepaksa’ banget.. Udah panas-panasan.. dan barang-barangnya tidak menarik hati Ibu saya untuk membelinya..
Pas Ibu saya udah gak tahan, beliau langsung mengultimatum Bapak saya dengan volume suara di level maksimum (kali ini di depan saya), “Eh! Udah ya! Gue udah jauh-jauh kesini! (padahal sih menurut saya kayaknya deket sama Jakarta.. masih jauhan Sulawesi deh, he..he..) Gue mo beli apa juga.. TERSERAH! SEBODO! GAK USAH NGELARANG-LARANG!”
Saya pun berupaya untuk menghindari pertumpahan darah biru.. eh.. merah lebih lanjut, makanya saya buru-buru pergi mandi, dalam waktu yang cukup lamaaa.. Dan, begitu saya kelar mandi (kira-kira hampir 1 jam-an, I spent my time to take a moment with a warm water in a bathtub), saya sudah liat Bapak dan Ibu saya lagi berdua-dua, di beranda penginapan, melihat pemandangan dari atas, nge-teh berdua, dan was joking on each other, like nothing happened..
How sweet the love is..
Tapi, pas besok paginya saya bangun tidur.. tiba-tiba Ibu saya ngomong, “Hih! Gue sih ogah deh ngajak dia liburan bareng lagi. RESEEEEEE!”
To be precise, how sweet the love in a marriage is.. ;P
Like I said in Vacation (1), sebenernya ada pun saya ngambil cuti kali ini adalah sekalian bantu-bantu bisnis Bapak saya. Kebetulan Bapak saya lagi ada negosiasi selama 2 hari di negeri tersebut, dan dia butuh orang yang ngerti tentang finance, accounting serta perpajakan. Mengingat biasanya rekan bisnisnya lumayan bawel untuk hal-hal seperti itu, dan orang kepercayaan Bapak saya yang biasanya ngurus-ngurus hal itu lagi can’t make any business trip, since he was doing another business trip at that time..
Pas saya bilang bahwa saya mo melanjutkan untuk tetep stay sekitar 3 days di negara itu (dan dilanjutkan 2 hari di negara lain yang deket-deket dari negara itu) sehabis urusan bisnis Bapak (dan saya) kelar, entah kenapa tiba-tiba Bapak ngomong, “Ah, gue ikutan juga..,” dan mereskedul jadwal-jadwal bisnisnya di Jakarta untuk diserahkan ke orang lain pada saat beliau cuti. Ibu saya yang emang juga udah kepengen ikut dari awal (maksud beliau, selama kita berdua kerja, beliau jalan-jalan sendiri aja) juga ikut memperpanjang length of holiday-nya..
Kumplit dah 1 batalyon, anak udah jomlo uzur begeneh masih dikawal sama Bapak Ibu-nya.. he..he..
Dan..
Really, Bapak saya ini.. haaddduuuuhh.. rese-nyaaa minta ampun. Kalo dirumah sih udah ketauan jelas emang rese.. he..he.. Tapi berhubung kalo di rumah itu kan kegiatan kita kadang-kadang beragam, dan suka gak keep in touch satu sama lain when we’re doing our private business, so jadi yang bener-bener kerasa rese-nya adalah pas liburan kali ini..
Sebagai yang sudah ditakdirkan, yang banyak jadi sasaran (saya juga kena, but not too much..) ya.. Ibu saya.. ya wajar dong, dia kan istrinya.. she is supposed to take that risk ;P
Misalnya nih, waktu itu Ibu saya ke satu departemen store yang lumayan kumplit di negara itu, dan naksir pajangan buah-buahan yang dikemas dalam botol kaca dan ada airnya, Bapak saya ngomel-ngomel, ”Apaan sih? Beli begituan dibawanya susah lah!!” Tapi dasar Ibu saya nekat.. dia tetep beli dan membawanya dengan hati-hati, like to guard her virginity when she was a teenager perhaps.. he..he..
Ternyata, pas lagi rush cari-cari kunci penginapan di depan pintu, Ibu saya lupa akan barangnya itu. Jadinya, barangnya pindah ke tangan Bapak saya. Sebagai orang yang slebor dan cukup kasar, sukseslah pajangan itu.. PECAH! Gara-gara kepentok pintu penginapan, dan memang gak ada niat baik sama sekali dari Bapak untuk menjaga pajangan itu sih. Bukannya minta maaf karena mecahin, Bapak saya malah tambah ganas, ”Tuh kan?!! Gue bilang apa?!! Makanya.. kan gue udah bilang, gak usah beli-beli gituan!!”
Liat Ibu saya mangkel.. kok saya malah tambah geli ya.. he..he..
Itu juga masih berlanjut keesokan harinya.. (ini kata beliau, soalnya saya gak liat sendiri, saya kan misah, demi ketentraman nasional.. he..he..) Kalo Ibu saya mo beli ini ato itu along the way, biasanya Bapak saya mencak-mencak, ”Ngapain sih? Susah dibawanya tau!” Dan, kebetulan Bapak saya itu emang penggemar jalan-jalan ke daerah yang suasananya seperti Pasar Jatinegara atau Pasar Glodok, jadinya when my mom wanted to go to the mall or exclusive department store, biasanya Bapak saya agak ogah-ogah-an, dan ke-rese-annya mulai timbul.. Sementara kalo jalan-jalan ke ‘kawasannya’, giliran Ibu saya yang mukanya seperti ‘kepaksa’ banget.. Udah panas-panasan.. dan barang-barangnya tidak menarik hati Ibu saya untuk membelinya..
Pas Ibu saya udah gak tahan, beliau langsung mengultimatum Bapak saya dengan volume suara di level maksimum (kali ini di depan saya), “Eh! Udah ya! Gue udah jauh-jauh kesini! (padahal sih menurut saya kayaknya deket sama Jakarta.. masih jauhan Sulawesi deh, he..he..) Gue mo beli apa juga.. TERSERAH! SEBODO! GAK USAH NGELARANG-LARANG!”
Saya pun berupaya untuk menghindari pertumpahan darah biru.. eh.. merah lebih lanjut, makanya saya buru-buru pergi mandi, dalam waktu yang cukup lamaaa.. Dan, begitu saya kelar mandi (kira-kira hampir 1 jam-an, I spent my time to take a moment with a warm water in a bathtub), saya sudah liat Bapak dan Ibu saya lagi berdua-dua, di beranda penginapan, melihat pemandangan dari atas, nge-teh berdua, dan was joking on each other, like nothing happened..
How sweet the love is..
Tapi, pas besok paginya saya bangun tidur.. tiba-tiba Ibu saya ngomong, “Hih! Gue sih ogah deh ngajak dia liburan bareng lagi. RESEEEEEE!”
To be precise, how sweet the love in a marriage is.. ;P
VACATION (1): PRIDE & PREJUDICE..
Of course, saya bukan Jane Austen yang pandai menulis novel-novel dramatik yang terkenal diseluruh dunia, semacam Pride & Prejudice itu.. but after have some thoughts for a while, rasa-rasanya I could name this article with the same title as that famous novel..
Dulu sehabis lulus S1, saya selalu punya bekal untuk menyiapkan jawaban wawancara kerjaan. Pertanyaan standar yang sering mampir ke saya adalah, “Bagaimana impian Anda sekitar 5-10 tahun mendatang?”
Karena saya juga belum siap-siap amat untuk menjawab, dan otak juga masih penuh sama ’rekreasi dahulu karena baru abis capek sekolah’, makanya kadang-kadang saya rada-rada keselek kalo menjawab pertanyaan sepert itu. Ditambah pula interviewer-nya bener2 mirip vampire.. and this is not the movie like Tom Cruise had, ”The Interview with The Vampire”..
Tapi, saya pikir-pikir lagi baik-baik lagi untuk mendapatkan jawaban yang pas. Toh akhirnya di umur 23 taon waktu itu, I really got an answer, that 5 years from that time, I imagined my self in a middle management position. Bisa ngambil keputusan sedikit-sedikit, and the next 5 years (which is 10 years from that time) I imagined I’ll have so many business trip around the world, handling such important dealings and meetings..
Namanya kan juga mimpi.. he..he.. Dan, ternyata.. sekarang?
Hmm.. kayaknya jauh deeeee.. Boro2 jadi middle manager, sukur-sukur bukan jadi tukang foto kopi dan tukang jilid.. he..he.. Udah gitu business trip around the world? Mungkin sekarang-sekarang ini kelasnya ikut business trip around the country dulu kali ye. Itu pun juga kadang-kadang masih dilarang2, dengan alasan dibutuhkan di Jakarta, ato ada kerjaan khusus di Jakarta yang gak bisa ditinggal-tinggal (tahanan kota), ato bahkan kadang-kadang berebutan dengan peminat laen yang pengen dinas ke daerah tersebut..
But, even that, I’m still glad for working here.. and it has been a very great gift from God that I could be the part of this institution, although sebenernya kalo diliat dari isi otak saya yang soak sih harusnya ni institusi mesti berpikir 2 kali sebelum nerima saya bekerja disini..
Cuman, gimana-gimana juga, ya impian kan tetep impian..
Makanya, setelah menunggu sekian lama, saya pikir saya harus liburan nih. Keluar dari Indonesia deh. Gak usah jauh-jauh lah.. Kebetulan kan Bapak saya ada urusan bisnis di negeri tersebut selama 2 hari. Dia juga membutuhkan bantuan saya. So, I’ve decided to help him for those 2 days, and the rest of it, I planned to have my own vacation for about 5 days.. The total was 7 days..
Ini juga sebagai wujud untuk memenuhi impian saya.. kan dari dulu pengennya bisa business trips (pake ‘s’ loh tuh, biar banyak.. he..he..) around the world. Berhubung sampe detik ini belum ada yang sudi untuk ngasih saya job kayak gitu, so, when my father offered me 2 days by his office’s business expense, saya setuju-setuju aja.. dan sisanya.. ya saya bayar sendiri dong ah..
I really have to keep my ‘pride’..
Tapi sayangnya nih, karena emang institusi saya ini kerjaannya buanyak banget (suer loh, banyak, tidak melebih-lebihkan, makanya orang-orang yang nuduh institusi saya ini cuman ‘gaji gede nganggur doang’ harus dimaki-maki dunia akherat.. he..he..), jadi saya agak-agak nyolong-nyolong waktu untuk cuti. Even proyek A yg sedang saya ikuti belum tamat-tamat amat, saya tetep langsung ambil cuti! Soalnya, 1 minggu dari proyek A berakhir, saya mesti pindah ke proyek B! Jadi, kalo gak sekarang, kapan lagi? If not now, when again? Betapa bagusnya grammar saya ya.. he..he..
Saya minta ijin ke manajer proyek A, yg kebetulan juga bakalan jadi manajer proyek B. Beliau ngijinin, mungkin kesian liat muka saya yang memelas seperti pengungsi Uganda minta dikasih nasi bungkus.. he..he.. Dan, saya baru ngomong ke Big Manager (yg selevel sama manajer proyek, tapi lebih senior dikit) pas hari terakhir saya di kantor dan mo pergi cuti besoknya. Jadinya Big Manager agak-agak kaget pas saya ngambil cuti 5 days, although beliau tetep ngijinin juga sih..
Thanks very much to them..
Cuman nih, beratnya di level-level yg laennya. Asisten manager saya protes saya pergi diem-diem, soalnya katanya saya ninggalin kerjaan yg bikin beliau panik. Emang sih, saya salah juga. Tapi dikala ribet sama proyek A, dan kebetulan waktunya mepet, jadi saya lupabilang sih. Yang lebih parah lagi, dari rekan sekerja selevel yang ’protes berat’ gara-gara saya cuti gak bilang-bilang dia. Katanya saya jadi ninggalin kerjaan ke dia.
Saya jadi bingung juga sih, kok mo cuti seperti kayak mo minta ijin kawin ama calon mertua aja ya (itu pun rasanya lebih gampang deh.. he..he..)? Mesti minta ijin keseluruh 8 arah mata angin? Bukannya cukup ke para manajer aja? Tuh, bener kan? Berarti di institusi saya ini emang bener-bener sibuk loh. Buktinya saya mo cuti aja.. RIBET! He..he..
Makanya, muncul prasangka yang aneh-aneh terhadap cuti saya. Katanya saya mo lamaran lah, ato gimana lah, ato bahkan kata rekan saya yang selevel itu ”Kalo ada yang nanya kenapa lo cuti, gue bilang aja lo mo kawin lari!” Hi..hi..hi.. So, saya bisa bilang bahwa cuti saya kali ini bener-bener penuh dengan ’prejudice’..
Well, Jane Austen, it’s not you who has only got ’Pride & Prejudice’, but I also got that one with my vacation that I’ve taken for this last 7 days..
And the stories still continued..
Dulu sehabis lulus S1, saya selalu punya bekal untuk menyiapkan jawaban wawancara kerjaan. Pertanyaan standar yang sering mampir ke saya adalah, “Bagaimana impian Anda sekitar 5-10 tahun mendatang?”
Karena saya juga belum siap-siap amat untuk menjawab, dan otak juga masih penuh sama ’rekreasi dahulu karena baru abis capek sekolah’, makanya kadang-kadang saya rada-rada keselek kalo menjawab pertanyaan sepert itu. Ditambah pula interviewer-nya bener2 mirip vampire.. and this is not the movie like Tom Cruise had, ”The Interview with The Vampire”..
Tapi, saya pikir-pikir lagi baik-baik lagi untuk mendapatkan jawaban yang pas. Toh akhirnya di umur 23 taon waktu itu, I really got an answer, that 5 years from that time, I imagined my self in a middle management position. Bisa ngambil keputusan sedikit-sedikit, and the next 5 years (which is 10 years from that time) I imagined I’ll have so many business trip around the world, handling such important dealings and meetings..
Namanya kan juga mimpi.. he..he.. Dan, ternyata.. sekarang?
Hmm.. kayaknya jauh deeeee.. Boro2 jadi middle manager, sukur-sukur bukan jadi tukang foto kopi dan tukang jilid.. he..he.. Udah gitu business trip around the world? Mungkin sekarang-sekarang ini kelasnya ikut business trip around the country dulu kali ye. Itu pun juga kadang-kadang masih dilarang2, dengan alasan dibutuhkan di Jakarta, ato ada kerjaan khusus di Jakarta yang gak bisa ditinggal-tinggal (tahanan kota), ato bahkan kadang-kadang berebutan dengan peminat laen yang pengen dinas ke daerah tersebut..
But, even that, I’m still glad for working here.. and it has been a very great gift from God that I could be the part of this institution, although sebenernya kalo diliat dari isi otak saya yang soak sih harusnya ni institusi mesti berpikir 2 kali sebelum nerima saya bekerja disini..
Cuman, gimana-gimana juga, ya impian kan tetep impian..
Makanya, setelah menunggu sekian lama, saya pikir saya harus liburan nih. Keluar dari Indonesia deh. Gak usah jauh-jauh lah.. Kebetulan kan Bapak saya ada urusan bisnis di negeri tersebut selama 2 hari. Dia juga membutuhkan bantuan saya. So, I’ve decided to help him for those 2 days, and the rest of it, I planned to have my own vacation for about 5 days.. The total was 7 days..
Ini juga sebagai wujud untuk memenuhi impian saya.. kan dari dulu pengennya bisa business trips (pake ‘s’ loh tuh, biar banyak.. he..he..) around the world. Berhubung sampe detik ini belum ada yang sudi untuk ngasih saya job kayak gitu, so, when my father offered me 2 days by his office’s business expense, saya setuju-setuju aja.. dan sisanya.. ya saya bayar sendiri dong ah..
I really have to keep my ‘pride’..
Tapi sayangnya nih, karena emang institusi saya ini kerjaannya buanyak banget (suer loh, banyak, tidak melebih-lebihkan, makanya orang-orang yang nuduh institusi saya ini cuman ‘gaji gede nganggur doang’ harus dimaki-maki dunia akherat.. he..he..), jadi saya agak-agak nyolong-nyolong waktu untuk cuti. Even proyek A yg sedang saya ikuti belum tamat-tamat amat, saya tetep langsung ambil cuti! Soalnya, 1 minggu dari proyek A berakhir, saya mesti pindah ke proyek B! Jadi, kalo gak sekarang, kapan lagi? If not now, when again? Betapa bagusnya grammar saya ya.. he..he..
Saya minta ijin ke manajer proyek A, yg kebetulan juga bakalan jadi manajer proyek B. Beliau ngijinin, mungkin kesian liat muka saya yang memelas seperti pengungsi Uganda minta dikasih nasi bungkus.. he..he.. Dan, saya baru ngomong ke Big Manager (yg selevel sama manajer proyek, tapi lebih senior dikit) pas hari terakhir saya di kantor dan mo pergi cuti besoknya. Jadinya Big Manager agak-agak kaget pas saya ngambil cuti 5 days, although beliau tetep ngijinin juga sih..
Thanks very much to them..
Cuman nih, beratnya di level-level yg laennya. Asisten manager saya protes saya pergi diem-diem, soalnya katanya saya ninggalin kerjaan yg bikin beliau panik. Emang sih, saya salah juga. Tapi dikala ribet sama proyek A, dan kebetulan waktunya mepet, jadi saya lupabilang sih. Yang lebih parah lagi, dari rekan sekerja selevel yang ’protes berat’ gara-gara saya cuti gak bilang-bilang dia. Katanya saya jadi ninggalin kerjaan ke dia.
Saya jadi bingung juga sih, kok mo cuti seperti kayak mo minta ijin kawin ama calon mertua aja ya (itu pun rasanya lebih gampang deh.. he..he..)? Mesti minta ijin keseluruh 8 arah mata angin? Bukannya cukup ke para manajer aja? Tuh, bener kan? Berarti di institusi saya ini emang bener-bener sibuk loh. Buktinya saya mo cuti aja.. RIBET! He..he..
Makanya, muncul prasangka yang aneh-aneh terhadap cuti saya. Katanya saya mo lamaran lah, ato gimana lah, ato bahkan kata rekan saya yang selevel itu ”Kalo ada yang nanya kenapa lo cuti, gue bilang aja lo mo kawin lari!” Hi..hi..hi.. So, saya bisa bilang bahwa cuti saya kali ini bener-bener penuh dengan ’prejudice’..
Well, Jane Austen, it’s not you who has only got ’Pride & Prejudice’, but I also got that one with my vacation that I’ve taken for this last 7 days..
And the stories still continued..
Langganan:
Postingan (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2008
(29)
-
▼
Juni
(8)
- VACATION (8): TERNYATA UNTUK HAL ITU PUN.. KITA MA...
- VACATION (7): SEBENARNYA INDONESIA LEBIH BAGUS, TA...
- VACATION (6): BIAR BANYAK YANG GAK MINAT JADI MILI...
- VACATION (5): PUBLIC TRANSPORTATION IN THAT COUNTR...
- VACATION (4): BOOKS & READING..
- VACATION (3): CAN’T TALK IN A FOREIGN LANGUAGE? JU...
- VACATION (2): WANNA HAVE A BEST RESULT? LEAVE YOUR...
- VACATION (1): PRIDE & PREJUDICE..
-
▼
Juni
(8)
About me..
- The Heart is A Lonely Hunter
- I've been passing time watching trains go by.. All of my life, lying on the sand watching seabirds fly.. wishing there would be, someone's waiting home for me..