Jumat, 11 Februari 2011

Singapore on CNY 2011 (8): Bunuh Diri demi.. Brand? :P

Dulu sebelum menikah, saya adalah orang yang tidak terlalu perduli dengan brand dari sepatu, baju atau pun tas, baik untuk busana pria mau pun wanita. Kalau pun saya memakai busana dengan brand-brand tertentu, itu lebih dikarenakan upaya Ibu saya yang sering membelikan saya busana dengan brand-brand itu tadi (kalo beli sendiri, ogah, sayang duitnya, hehehe). Umumnya sih high branded yang saya miliki seperti Burberry, Salvatore Ferragamo atau pun misalnya Valentino, walau pun sih high brand tersebut tetap kita peroleh dari program-program sale yang out of season.. hehehe.. Kalo beli yang new arrival, gak mampu la yaw! Hehehe. Yah, terkadang ada kepuasan tersendiri dengan memakai busana dengan high brand tertentu, selain memang kualitasnya OK punya juga sih.

Begitu menikah, ternyata istri saya ini termasuk wanita yang tergila-gila high brand untuk handbags (tas), sepatu atau sandal, dan juga parfum. Koleksi brand bajunya sih boleh jadi biasa-biasa saja, tapi begitu berbicara mengenai tiga asesoris tadi, ultimatumnya adalah ‘no high brand no services from the wife’. Wah, ya saya sebagai suami yang takut kehilangan servis istri tercinta juga jadi ikut-ikutan mempelajari kategori-kategori high brand untuk barang-barang kegemaran dia tadi. Termasuk survey harga di beberapa tempat dan di beberapa negara, dengan tujuan.. ya apalagi kalo bukan buat dapet yang termurah dengan model yang sama dong ah? Hehehehe..

Di Singapore, istri saya dan saya langsung terbengong-bengong melihat orang-orang Singapore ber-sliwer-an dengan menggunakan Tas Burberry, Louis Vuitton, Prada, Miu-Miu, Salvatore Ferragamo, Hermes (ih, yang ini bisa puluhan juta rupiah bo harganya di Indonesia), Gucci, Aigner, Kate Spade atau pun Coach! Di jalan, di MRT, di mana pun, di setiap sudut kota. Saya dan istri saya langsung ‘usil’ untuk meneliti, kira-kira ini ‘ori’ atau ‘KW’ ya? Namun, kami sepakat, setelah mengerahkan ilmu-ilmu ‘penelitian’ yang kami miliki, tas-tas itu rata-rata ori semuanya. Yah, ada lah yang 1-2 KW-nya. Lebih hebohnya lagi, banyak orang-orang Singapore (dari logat bicara Singlish-nya) yang membeli langsung di store pada saat itu juga, dan keluar store menenteng tas belanjaan berlogo Hermes, Louis Vuitton or Burberry. Orang-orang Singapore, edan juga belanja begitu, berasa kayak belanja di carefour i kali ya? Maen tunjuk, langsung.. :P

Saya jelaskan ke istri saya, pada dasarnya manusia harus memiliki eksistensi untuk penampilannya. Berhubung di Singapura itu persaingan tingkat tinggi sekali, jadi jangan heran kalau ukuran penampilan pun juga jadi patokan sejati untuk tetap eksis di masing-masing individu. Mengingat bahwa transportasi umum di Singapura sudah cukup memadai, maka banyak warga negaranya yang tidak terlalu pusing untuk ‘eksis’ dalam hal mobil (tidak seperti di Jakarta yang berlomba-lomba berganti mobil dan agak menghemat di penampilan berbusananya) dan mengalihkan sebagian hartanya pada branded things untuk penampilan busananya.

Di lintasan rel salah satu stasiun MRT yang kami kunjungi, kami membaca tanda tertulis, “Value Life, Act Responsibily (Hargailah hidup dan bertindaklah bijak).” Istri saya langsung bengong, “He? Banyak bunuh diri apa ya di rel MRT kayak gini?” Saya terangkan kepada dia, bahwa target dan tingkat persaingan hidup di Singapura itu sangat tinggi. Bagi yang lemah imannya, stress tinggi dan berujung kepada keputusaan hingga bunuh diri jika gagal mencapai target adalah hal yang sering terjadi, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa. Istri saya langsung nyengir, “Ya ampun! Buat apa juga mati-matian belajar dan kerja supaya bisa beli Louis Vuitton, terus abis itu bunuh diri? Nggak banget deh..” Saya langsung mencuri kesempatan, “Lah, daripada kayak kamu, bikin suami jadi kepengen bunuh diri gara-gara berulang kali minta dibelikan Louis Vuitton? Hayo?”

Jawaban balik dari istri saya.. hmm.. cukup saya dan istri saya saja yang tahu deh.. hehehe..

Singapore on CNY 2011 (7): Singapore.. Indonesia cabang Luar Negeri?

Dulu pertama kali saya ke Singapore di tahun 1995, pergi ke Singapore itu terasa sekali ke luar negerinya. Walau pun banyak juga bertemu orang Indonesia di sana, tapi melihat Singapore itu benar-benar seperti luar negeri deh. Di tahun 1998, ketika kembali saya berkunjung ke negara itu, walau pun banyak dipenuhi oleh orang-orang Chinesse Jakarta yang menghindar dari kerusuhan Mei 1998, tetap juga Singapore itu masih terasa luar negerinya. Berbicara dengan pramuniaganya pun juga hampir tidak ada yang bisa menggunakan Bahasa Indonesia, dan hampir tidak ada petunjuk dalam Bahasa Indonesia sama sekali di berbagai sektor komersil.

Sekarang ini, berada di Singapore, kok jadi gak jauh beda seperti berada di Indonesia ya? Pramuniaganya pun sudah pandai berbahasa Indonesia. Noted, Indonesia loh, bukan Melayu lagi. Misalnya pramuniaga di Takashimaya pun ketika melayani kami juga menggunakan bahasa Indonesia dengan lafal ‘a’ untuk huruf a, bukan lafal ‘e’ untuk huruf a seperti yang terdapat pada bahasa Melayu. Selain itu, menu-menu makanannya pun juga gak jauh beda seperti restoran-restoran yang ada di Jakarta, even memasang tanda ‘Halal dan No Pork’! Sesuatu yang dulu saya jarang jumpai di Singapore dan membuat beberapa kali saya akhirnya ‘secara tidak sengaja’ memakan yang ‘tidak halal atau pork’ tadi.. hehehehe.. ya abis, udah ngomongnya ga jelas gitu, dan ga ada tanda ‘Pork-Pork’-an, meneketehe kalau itu adalah makanan ‘terlarang’ bagi saya.

Saya sempat mengkonfirmasikan hal ini dengan teman saya yang sudah cukup lama bekerja di Singapore. Menurut dia, Singapore itu sebenarnya sedang berada dalam stage krisis stok warga negara. Seperti yang kita ketahui, Singapore itu negara kecil dan tidak memiliki sumber daya alam sama sekali. Jalan satu-satunya agar negara menjadi maju adalah dengan memicu kinerja dari warga negaranya. Teman saya beranggapan, di Singapore terdapat anggapan bahwa kinerja yang tinggi akan dapat dicapai dengan mengetengahkan logika yang tinggi pula.

Saking tingginya logika dari para warga negara, dalam menikah dan memiliki anak, hitung-hitungan mereka pun sangat njelimet. Berapa biaya yang akan dihabiskan bila punya 1 anak, 2 anak atau lebih? Kesempatan apa yang mereka korbankan dalam berkarir bila memiliki anak (bagi para wanita)? Tidak seperti orang Indonesia yang umumnya menjadikan pernikahan dan memiliki anak sebagai satu tujuan hidup yang mulia (terutama bila dikejar-kejar oleh orang tua karena umur sudah berada di tapal batas usia kritis, berkaca dari masa lalu pribadi, hehehe) dengan prinsip, “Menikah dan memiliki anak akan membawa rejeki tersendiri”, malah warga negara Singapore seperti agak-agak alergi terhadap pernikahan dan natalitas.

Walhasil, pemerintah Singapore kebat-kebit untuk mengisi stok kependudukan negaranya, dan membuka kesempatan kepada orang-orang asing untuk menjadi warga negara Singapore melalui berbagai cara. Misalnya membuka kesempatan bekerja (sebagai ekspatriat, dan perlahan-lahan akan dibujuk untuk menjadi permanent resident) dan beasiswa bersekolah (dengan ikatan dinas bekerja di Singapore dalam jangka waktu beberapa tahun). Indonesia sebagai salah satu negara yang stok penduduknya berjumlah dahsyat serta berpotensi tinggi menjadi ‘pengisi’ mayoritas kewarganegaraan Singapore. Yah, jadinya begitu deh, banyak sekali orang Indonesia menjadi penduduk Singapore, dan membuat Singapore menjadi ke-Indonesia-Indonesia-an.

Terlepas dari stress yang sangat tinggi sekali dalam bekerja di Singapore, negara ini memang menawarkan banyak kelebihan bagi warga negaranya. Keamanan (jangan takut untuk dicopet bila berdesak-desakkan di MRT, ini bukan busway di Blok M, hehehe), kenyamanan (bebas polusi, sarapan di pinggir jalan tidak dicampur dengan asap knalpot dan aroma bensin, hehehe), tidak ada kemacetan (transportasi umumnya sudah uokeh gitu loh jeh) dan tingkat pendapatan yang layak. Khusus untuk tingkat pendapatan yang layak, bayangkan saja, gaji seorang fresh graduate dari universitas yang ‘biasa-biasa’ saja (tidak perlu top ten-top ten amat) adalah SGD2500-3000, dengan perbandingan harga bensin premium SGD2 per liter (seorang fresh graduate yang baru bekerja dapat membeli sekitar 1200-1500 liter premium).

Di Indonesia, untuk mendapatkan gaji Rp2,5-Rp3 juta pada saat pertama kali bekerja, Anda harus menjadi lulusan yang lumayan top dari Universitas yang ternama, dan harga bensin premium (yang di masa depan terlarang bagi angkutan pribadi, dan kita harus merogoh kocek sebesar Rp8.000 per liter untuk bensin pertamax) adalah Rp4.500 per liter (seorang fresh graduate yang baru bekerja di Indonesia hanya dapat membeli 500-600 liter premium, oh noted, kalau harus beli pertamax, hanya mendapat 300-400 liter saja). Belum lagi tingkat keamanan yang memprihatinkan (kerampokan, kecopetan, itu hal yang biasaaa di Indonesia), tingkat polusi yang tinggi dan kemacetan yang edan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Pusing dah ah!

Jadi, mari kita beramai-ramai menjadi warga negara Singapore?

Singapore on CNY 2011 (6): Berbicara dan Bergerak Cepat serta Hobi Membentak-bentak..

Bahasa yang digunakan oleh penduduk di Singapore umumnya ada empat, yakni Singlish (English gaya Singaporean), Chinesse (tapi gak gitu jelas juga, dialek apa yang mereka gunakan), Melayu dan Tamil. Berhubung English adalah 1-1-nya bahasa internasional yang saya kuasai, maka untuk berkomunikasi di Singapore pun biasanya saya ‘tebal muka’ dulu dengan menggunakan bahasa Indonesia. Bila lawan bicara mulai memandang saya dengan bengong kuadrat, baru saya alihkan ke English dengan pronounciation yang sedikit Betawi kombinasi Sunda gitu lah..

Ternyata, dari pertama kali saya berkunjung ke negara ini, gaya berbicara mereka tidak mengalami perubahan yang berarti. Orang-orang Chinesse-nya misalnya, rata-rata yang saya temui itu kalau berbicara menggunakan Singlish (English yang RUSAK menurut saya.. hehehe) yang selalu dilontarkan dalam speed cepat, sehingga saya jadi terbata-bata untuk memahaminya. Belum lagi kosakata yang sering mereka tidak pahami, misalnya ketika memesan McD, sebelumnya saya sudah jelaskan, “Dining in (makan di tempat)”, memang begitu terms yang sesuai dengan kaidah-kaidah TOEFL or IELTS kan? Eh, lawan bicara Chinesse saya bengong gitu, malah langsung melontarkan terms lain, “Having here?” yang terdengar seperti “Havingir?” Itu benda apa ya? Hehehe..

Yang lebih menyebalkannya lagi, beberapa (sepertinya mostly deh) Chinesse Singapore itu pada saat berbicara terkesan membentak-bentak kita. Oke lah kalau seperti mengatur antrian di Universal Studio, atau Sky Train di Vivo ke Sentosa, yang pengunjungnya membludak dan kadang-kadang susah disiplin dalam antrian, bentak-bentak memang dilegalkan. Tapi kalau untuk membeli makanan, minuman atau pun barang, mosok kita sebagai pelanggan masih dibentak-bentak juga sih? Sebenarnya mungkin bukan maksud hati mereka untuk membentak, tapi gaya mereka itu lah yang belum bisa kita anggap normal.

Misalnya nih, waktu saya mau memesan hot tea yang ternyata sudah habis, pramusaji chinesse-nya langsung menggeleng-geleng singkat sambil setengah berteriak, “No Hot Here! No Hot Here!” Mungkin karena saya juga sudah capek sehabis berkelana di malam hari, saya jadi terbawa emosi, “IYEE! GUE JUGA UDAH TAU KALO GA ADA!! BIASA AJE KENAPEE?!!” Langsung si pramusaji terbengong-bengong. Pertama, saya yakin mereka tidak mengerti mengenai apa yang saya katakan, dan kedua, pasti mereka pikir saya orang gila kali ya tereak-tereak begitu? Hehehe. Banyak lagi sih kasus serupa saya alami, terutama kalau hendak memesan food and beverage. Justru kalau berbelanja di butik, baik middle brand or high brand, pelayanan diberikan sangat maksimal tanpa membentak-bentak. Iya sih, sayangnya maksimal di sini adalah Anda akan dibuntuti terus oleh pramuniaganya sampai Anda benar-benar membeli barang dari store tersebut. Ampun dah!

Lain lagi pengalaman saya dengan pramuniaga atau petugas keamanan yang termasuk rumpun suku bangsa Tamil. Di Mustafa misalnya, begitu alarm berbunyi pas saya masuk gerbang pintu store, buru-buru petugas keamanan yang bermuka Indihe sekalihe ‘mengamankan’ saya, dan menggeledah saya serta barang bawaan saya. Ternyata diketahui bahwa barang bawaan saya yang bermasalah. Saya sempat bertanya kepada dia, “Can I deposit my things somewhere around here?” Dia hanya memberikan jawaban dalam Bahasa Inggris yang tidak jelas, sambil menggoyang-goyangkan kepala ke kiri dan ke kanan, persis seperti boneka India. Saya kan jadi bengong ya? Akhirnya dari pada pusing, saya menyerah dan minta ijin kepada dia, “I think, I just want to get out, and come here next time perhaps.” Dia malah menahan tangan saya, “No.. no.. no..” dan kembali menggumam tidak jelas serta menggoyang-goyangkan kepala ke kiri dan ke kanan. Aduh Mak! Mau kau apakan diriku ini Mak?!

Selain berbicara dengan cepat, ciri khas dari orang-orang Singapore adalah bergerak dan berjalan dengan cepat. Kalau di stasiun MRT misalnya, saya merasa sedang berada dalam kontes atletik, karena speed berjalan mereka agak-agak setengah berlari. Sementara itu, dengan para pramuniaga-nya, berulang kali saya mendapatkan pelayanan yang super duper cepat, mulai dari mengantarkan order, hingga memberikan uang kembalian. Malah pernah, ketika saya membeli CD hingga 5 buah, kasirnya menghitung dengan cepat dan menumpuk CD saya dengan cepat pula, sampai akhirnya tumpukan tidak simetris dan jatuh ke bawah. 1 CD yang saya beli cover-nya jadi agak retak karena jatuh tadi. Hih! Ngapain juga sih cepet-cepet? Bikin barang gue rusak aje!!

Kalau mengantri untuk membeli tiket MRT misalnya, kebiasaan ‘cepat’ ini juga berlaku bagi orang Singapore. Memasukkan koin ke mesin pun juga dilakukan dengan ekspres sekali, dan membuat saya jadi tidak enak hati dengan antrian di belakang ketika saya melakukannya dengan slow. Dan, sekali waktu saya berusaha untuk melakukan hal tersebut dengan cepat, controller penjual tiket di MRT itu sempat menegur saya, “Hey, calm down, don’t get too excited!” Heh, palelo benjut don’t get too excited?! Lo gak liat ya muka orang-orang di belakang gue dari tadi udah asem aja gara-gara gue slow motion gene?

Biar lambat asal selamat.. salah deh kayaknya.. Biar cepat dan tamat.. gitu kali ya?

Singapore on CNY 2011 (5): Hunting Buku, CD dan DVD di Singapore tidak Seperti yang Dulu Lagi

Dulu bila saya pergi ke Singapore, Buku, CD dan Film Video adalah 3 hal yang selalu saya kejar. Maklum, menurut saya, sekitar tahun 1995-an dulu, koleksi Buku, CD dan Video yang dijual di Jakarta masih belum terbilang lengkap bila dibandingkan dengan Singapore. Kebetulan saya termasuk penggemar film-film klasik atau pun film-film yang mendapat apresiasi positif dari kritikus film, dan juga penggemar musik-musik klasik atau jazz yang sedikit agak unusual style-nya. Di Jakarta, agak sulit dulu untuk menemukan CD dan Video yang menjadi preferensi saya itu. Juga demikian halnya dengan buku, karena pada tahun-tahun itu, berapa sih toko buku impor lengkap yang dimiliki oleh Jakarta? Cuma Times seingat saya, yang akhirnya tutup di tahun 2000-an, dan kembali beroperasi lagi di tahun 2009.

Tahun 2008 kemarin, saya masih sempat membawa pulang beberapa VCD dan DVD yang saya cari. Namun, untuk tahun ini, saya justru malah tidak mendapatkan film apa pun yang saya inginkan! Bahkan film yang dulu saya dapatkan di sana sudah tidak terjual lagi. Hmm, apa jangan-jangan semua sudah habis saya borong ya di tahun-tahun sebelumnya? Hehehe. Film-film baru pun juga kalah dahsyat dengan Jakarta koleksinya. Apalagi bila berbicara mengenai Mangga Dua, persediaan stok video film di Singapura sepertinya sudah kalah total deh. Terlebih harga DVD di Mangga Dua jauh lebih murah daripada di Singapura (noted: ya di Mangga Dua kan bajakan gitu looh, hehehe).

CD musik pun juga sama. Dulu di Singapore, saya baru bisa menemukan CD-CD yang saya tidak temukan di Jakarta. Sekarang ini, ada beberapa CD yang saya temukan di Jakarta tidak saya temukan di Singapore. Memang, untuk koleksi musik klasik dan jazz, variasi CD di Singapore agak lebih lengkap bila dibandingkan dengan di Jakarta, namun perbedaan itu juga tidak terlalu signifikan sekali. Bila dihitung berdasarkan harga pun, sepertinya harga CD di Jakarta pun juga tidak terlalu mahal bila dibandingkan dengan Singapore. Wah, berarti di era tahun 2000-an, Jakarta sudah semakin OK nih dalam mengejar ketinggalannya ber-CD musik-ria dengan Singapore. Walau pun demikian, HMV Music Store yang berada di Mall 313 Orchard Road masih sulit untuk dicari tandingannya dengan toko CD/DVD yang ada di Jakarta.

Sementara untuk buku, saya merasa bahwa Kinokuniya Nge Ann City Orchard masihlah terbilang dahsyat dan tidak ada saingannya di Jakarta. Kelengkapannya pun juga tidak bisa dibilang main-main. Kinokuniya yang terbesar di Jakarta, yakni di Plaza Senayan, walau pun cukup besar, menurut saya masih kalah jauh kelengkapannya dengan yang di Singapore. Namun, dari segi harga, buku-buku di Jakarta kelihatannya masih lebih murah dibandingkan dengan di Singapore, berdasarkan uji sampling yang saya lakukan untuk beberapa buku dengan judul yang saya ketahui. Bila di-kurs, perbedaannya mungkin berkisar antara Rp20.000-Rp30.000 per buku. Kecuali untuk buku-buku sastra klasik Inggris terbitan Penguin Classics (cover hijau) dan Wordsworth Edition, baik di Singapore mau pun di Jakarta sepertinya sama sih harganya.

Sempat saya menengok ke sale buku yang digelar oleh Carefour di Suntec City. Saya sempat terbelalak, melihat beberapa buku-buku Economics dan beberapa buku-buku fiksi hard cover semacam buku dari si chicklit-er Meg Cabot, sastrawan John Updike dan ‘Sex & The City’-nya Candace Bushnell, yang di Kinokuniya Nge Ann City seharga SGD25-SGD40, mendadak langsung di-sale menjadi SGD 8 per buku dan malahan menjadi SGD20 per 3 buku! Secepat kilat insting perburuan saya kerahkan dengan maksimal! Namun, ketika akal sehat saya bermain (membawa buku di koper itu bakal terasa berat, terutama hard cover, belum ditambah dengan membawanya dari Suntec ke tempat menginap menggunakan MRT), saya pun langsung mengurangi jumlah perburuan saya lebih dari separuhnya.

Beberapa rekan saya sempat merekomendasikan Borders, toko buku terkenal di dunia yang juga membuka cabang di Singapore, sebagai toko buku yang wajib dikunjungi bila sedang berada di Singapore. Setelah saya amati baik-baik, sepertinya, rekomendasi saya masih tetap ke Kinokuniya Nge Ann City, yang suasananya jauh lebih asyik, dan koleksinya jauh lebih lengkap. Walau pun, jangan-jangan, untuk judul buku yang sama, bisa jadi Anda akan mendapatkan harga yang lebih murah bila Anda membelinya di Jakarta, terutama di Periplus, Aksara Book Store, atau bahkan di Kinokuniya Plaza Senayan mau pun Grand Indonesia.

Saya jadi kepingin cepat-cepat ke Mangga Dua dan Kinokuniya Plaza Senayan nih..

Singapore on CNY 2011 (4): Universal Studio? Just Once is Enough for me..

Terakhir ketika saya mengunjungi Singapore di tahun 2008, Universal Studio Singapore (USS) belum beroperasi, dan sepertinya masih dalam tahap pembangunan di kawasan Sentosa Island. Maka kali ini, walau pun saya tidak terlalu berminat terhadap wahana permainan seperti ini (you have to know saya ini bukan termasuk advonturir traveller, dan lebih akrab dengan indoor activity, seperti shopping gitu misalnya, hehehe), istri saya membujuk saya untuk ke USS dengan alasan, “Mosok ya kita udah sampe ke Singapore tapi belum nengok USS sih?” Ya bener juga, harus ada bukti penjejakan kaki kita lah minimal di situ.

Dengan merogoh kocek SGD72 per orang (peak season, hari Sabtu/Minggu, atau hari-hari libur nasional serta liburan sekolah), dan melakukan perjalanan via MRT ke Vivo City serta menyebrang dengan sky train dari Vivo City ke Sentosa Island, sampai juga kami di USS. Perolehan tiketnya pun juga dengan agak penuh perjuangan. Masalahnya, ketika hari Kamis, hari pertama saya ada di Singapore, saya mengunjungi Tourist Information Centre (TIC) di kawasan Orchard, dengan maksud untuk membeli tiket USS (ada brosur di depan TIC, “We’re selling USS ticket”). Petugas TIC tersebut menerangkan bahwa tiket USS sudah sold out sejak 1 bulan yang lalu! Bahkan TIC juga yakin saya tidak akan mendapatkan kesempatan untuk membeli tiket langsung di tiket box di sana (sudah habis).

Hari itu juga saya hubungi istri saya di Jakarta tentang kondisi tadi, dan dia tetap nekat membeli tiket USS online di salah satu travel di Jakarta. Ternyata, tiket masih available, dan istri saya sempat setengah bingung, “Masih ada tuh, beneran dibilang abis di sana?” Dan yang lebih bingungnya lagi, ketika saya sampai di USS hari Sabtu itu jam 11.00, tiket box tetap dibuka dan tiket available untuk dijual. Lah, bagaimana sih TIC ini? Katanya sold out? Ya sudah lah, yang penting tiket tetap ada, dan kami bisa masuk ke USS.

USS terbagi dalam beberapa kawasan, yakni kawasan New York di tahun 1950-an, kawasan robotic science and outer space, kawasan fairy tale land yang dipopulerkan oleh film ‘Shrek’, kawasan Mesir Kuno yang dipopulerkan oleh film ‘The Mummy dan diakhiri dengan kawasan safari Afrika yang dipopulerkan oleh film ‘Madagaskar’. Luas area USS sebenarnya terbilang kecil dibandingkan dengan Dunia Fantasi misalnya, termasuk jumlah dan jenis wahana permainan yang ditawarkan. Namun, karena USS berbicara mengenai ‘Hollywood’ style, maka USS ya jauh lebih dahsyat ‘impresi’-nya ketimbang Dunia Fantasi.

Kami hanya sempat mencoba 3 wahana saja dari sekitar.. 10 wahana yang ditawarkan di sana. Tepatnya 2 sih, karena yang 1 lagi hanya saya yang mencoba, dan istri saya menolak untuk ikut karena takut mengalami mabuk darat (jet-coaster dalam fast speeding memang cukup berisiko menimbulkan feeling mabuk darat). Seharusnya sih dalam waktu kunjungan sekitar 5 jam (11.00-16.00), seluruh wahana dapat kami rasakan. Namun, karena peak season, dan jumlah pengunjung membludak seperti antrian Naik Haji (lebay dikit bole lah, hehehe), maka untuk merasakan 1 wahana yang berlangsung sekitar 5-15 menit saja, kami harus antri sekitar 40 menit hingga 1 jam! Resto-resto yang ada di dalam USS pun juga hampir seluruhnya menawarkan menu standar, sekitar fast food tentunya. Harganya? Ya sudah pasti sedikit agak mahal bila dibandingkan dengan yang ada di mall lainnya atau di tengah kota.

Tentu saja, preferensi masing-masing individu tentunya berbeda. Bagi saya, cukup sekali saja saya mengunjungi USS ini. Yang terpenting, saya sudah pernah datang dan melihat sendiri seperti apa USS itu. Kalau pun lain kali saya berkunjung lagi ke Singapore, sudah tentu saya akan dengan senang hati men-‘skip’ untuk menengok USS, kecuali bila anak saya memohon-mohon kepada saya agar menemaninya ke sana (dan saya yakin dia akan lebih senang pergi tanpa saya, karena saya ini orangnya ributan kalau pergi-pergi ke tempat yang saya kurang begitu sukai, hehehe).

Pak Bakrie, jadi gak sih membangun Universal Studio di Jakarta?

Singapore on CNY 2011 (3): Mustafa ya Mustafa..

Mustafa Department Store yang terkenal dengan nama ‘Mustafa’ adalah tempat yang mudah dicapai dengan menggunakan MRT. Pilihlah Farrer Park Station (jalur ungu, wah, saya lupa, itu north, east, atau south ya?), dan keluar dari Farrer Park, Anda langsung dengan mudahnya menemukan department store yang bernama, “Mustafa & Samsuddin Co. Pte, Ltd.” Farrer Park adalah kawasan di dekat Little India, dan rasanya mendengar nama kawasan ‘Little India’, sudah kebayang dong isi Mustafa itu mayoritas adalah orang-orang bersuku bangsa apa aja? Pastihe bisahe ketebake.. hehehe...

Pertama kali saya mengenal Mustafa itu di tahun 2008, pada saat kunjungan saya yang ketiga di Singapore. Mustafa ini beroperasi selama 24 jam, dan waktu itu saya pergi sekitar jam 22.30 ke sana, sehingga suasana sudah terbilang agak sepi. Namun, kali ini saya merasa bahwa saya tidak sekuat yang dulu lagi untuk keluar berpergian di malam hari (yah, walau pun belum renta-renta amat sih, hehehe), sehingga sekitar jam 15.00, saya putuskan dari Suntec City (tempat saya meng-eksplor sale buku-buku di Carefour yang ada di mall itu) untuk beralih ke Mustafa.

Saya juga tidak ingat persis, berapa lantai yang dimiliki Mustafa itu. Namun sepertinya HAMPIR seluruh barang di jual di situ. Elektronik, Pakaian, Parfum, DVD-CD, buku-buku, groceries, dan masih banyak lagi. Samakan saja stok Mustafa itu dengan Carefour, tapi dengan tampilan yang lebih kumal dan sesak. Saya jadi ingat masa kecil saya di kompleks pertokoan Aldiron Blok M Plaza di tahun 80-an. Mirip sekali dengan apa yang ada di Mustafa itu. Ya bentuk bangunannya, dan juga isinya. Hanya saja Mustafa sangat jauh lebih lengkap ‘jualannya’ dibandingkan dengan Aldiron pada masa jayanya.

Karena kunjungan saya kali ini dilakukan pada sore hari, di hari libur pada jam yang sangat strategis, maka Mustafa pun PENUH SESAK dengan BERBAGAI UMAT MANUSIA dari SELURUH PENJURU DUNIA (yang terakhir ini agak-agak efek lebay dikit lah, hehehe). Dari luar pun terlihat tempat itu penuh sesak! Dan sialnya, ketika saya masuk pintu gerbang gedung, all of sudden alarm keamanan berbunyi! Shit! Sepertinya buku yang saya beli di Carefour Suntec itu yang menjadi gara-gara (belum dinetralisasi pengamannya). Saya pun langsung digiring ke petugas keamanan, yang memohon untuk memeriksa seluruh barang bawaan saya. Untungnya semua aman-aman saja, dan saya ‘dilepas’ oleh mereka dengan ‘ikhlas’ untuk berbelanja di Mustafa.

Walau pun dalam keadaan penuh sesak, dengan pengunjung mayoritas orang India, saya tetap meluangkan waktu untuk memilih-milih barang yang saya butuhkan. Hebat juga pikir saya, toko yang sebenarnya dikategorikan ‘low level’ ini masih menjual barang-barang ‘high level’ seperti misalnya parfum dari Hugo Boss, atau leather belt dari Arnold Palmer dan Pierre Cardin. Harganya ya hanya lebih sedikit murah (beda sekitar SGD2-5 per item) dari pertokoan di kawasan Orchard. Kecuali untuk barang-barang program promo, seperti Army for Men Hugo Boss 150ml yang dibanderol SGD110 untuk Buy One Get One di Mustafa dan sempat saya lihat dibanderol SGD90 (untuk 1 buah saja) di Metro Orchard!

Groceries yang dijual pun juga beragam, yang kadang-kadang saya tidak temukan di pertokoan besar seperti di Orchard atau pun Suntec. Yang lebih lucunya lagi, busana dengan merk Crocodile yang umumnya saya tidak temukan di kawasan Orchard, dan biasanya hanya saya temukan di Indonesia, kok tiba-tiba bisa ada di Mustafa sini ya? Hebatnya lagi, VCD dan DVD Indonesia pun berkeliaran bebas di tempat ini! Label kategorinya sih, “Malaysian Movies”, tapi begitu kita melihat dengan lebih detil, loh kok di cover disc-nya ada Dian Sastro, Tora Sudiro, wah, wah, ini namanya misleading the information nih.. hehehehe..

Koleksi CD musik Indonesia, Melayu dan India (ya ea lah yaw) juga sangat lengkap sekali ada di sana. CD-CD barat pun juga dijual di sana. Saya sempat tertegun, melihat CD dari Justin Bieber yang dibanderol dengan harga SGD19. Soalnya, saya lihat di kawasan Orchard, di toko mana pun, CD Justin Bieber (dan artis lain yang sejenis dengan ‘kategori produk’ itu) dibanderol dengan harga SGD22. Wah, di sini lebih murah ya? Saya ambil, saya lihat, saya teliti dengan seksama, loh, kok ada tanda “Lunas PPN Indonesia?” Ternyata setelah saya amati baik-baik, CD itu adalah CD produksi Indonesia (yang di Jakarta harga standarnya Rp75.000, atau SGD10), dan kembali di-ekspor ke Singapore serta di-mark up di Mustafa! So, yang saya lihat di Orchard itu adalah CD for sale in Singapore, sementara yang di Mustafa adalah CD for sale in Indonesia. Pantesan ya lebih murah ya, ada-ada ajee ya Mustafeee.. hehehehe..

Saran saya, janganlah ke Mustafa di jam-jam sibuk. Lebih baik Anda beristirahat sejenak di tempat menginap Anda, untuk kembali ke area Mustafa di atas jam 22.00. Soalnya, karena saking penuh sesaknya, saya beberapa kali terinjak-injak pengunjung lain (terutama orang-orang Tamil berbadan besar dan berkulit hitam legam, yang langsung melibas saya nan mungil dan tidak berdaya ini), bahkan lengan saya sempat terluka kecil tergores ujung kardus belanjaan salah seorang Ibu-Ibu India yang berpapasan dengan saya di salah satu lorong rak perbelanjaan (walau pun berulang kali dia said sorry, tapi gue kan udah kegores ya booo).

Mustafa ya Mustafa.. Kunjungan Anda ke Singapore tentu akan kurang berkesan bila melewatkan yang satu itu..

Singapore on CNY 2011 (2): CNY di Singapore Sepi? Yakin?

Seperti yang saya jelaskan di atas, saya dan istri saya juga tidak begitu mengerti bagaimana awal timbulnya rencana kami untuk mengunjungi Singapore pada hari pertama CNY 2011. Bagi istri saya, kunjungan ke Singapore ini adalah kunjungan pertamanya ke luar negeri, sehingga ia tidak terlalu perduli tentang kapan sebaiknya kunjungan ke Singapore dilakukan. Sementara bagi saya, kunjungan ke Singapore sudah saya lakukan pada Natal dan Tahun Baru 1995 (seminggu full), pada bulan Juni tahun 1998 (seminggu full), after new year tahun 2004 (cukup 3 hari), dan pada bulan Juni tahun 2008 (5 hari). Saya belum pernah mengunjungi Singapore pada saat CNY, sehingga untuk kali ini, saya putuskan jadwal kunjungan ke Singapore jatuh pada hari pertama CNY 2011.

Sepertinya memang ilham saya selalu datang terlambat. Pada saat saya melakukan seluruh booking transportasi dan akomodasi di Singapore untuk hari pertama CNY 2011 sampai 4 hari kedepannya, saya tidak melakukan browsing apa pun untuk mengetahui kondisi Singapore pada saat itu. Tiba-tiba saja sekitar dua minggu sebelum keberangkatan, saya tergelitik untuk mengetahui program wisata apa saja yang dimiliki Singapore selama hari pertama sampai 4 hari ke depan di CNY 2011. Uraian yang saya dapatkan dari proses googling pun rata-rata memberikan result yang sama, “Imlek hari-H di Singapore, kayak kota mati.” Malahan ada yang lebih parah lagi, “Warning: Do not go to Singapore on the H-day of CNY. All big department stores are closed during H and H+1!”

I was sooo speechless at that time..

Tiket dan akomodasi sudah dipesan, ditambah dengan kondisi akan pergi seorang diri di hari H dan H+1 on CNY (karena istri baru berjanji akan datang di malam hari on H+1), dan indikasi kota Singapore terbilang sepi on those days, yah, mau bilang apa lagi? Me-reskedul tiket flight dan akomodasi jelas akan memakan biaya tambahan yang lebih besar lagi. Ya sudahlah, akhirnya toh saya niatkan untuk tetap pergi di hari-H dengan penerbangan jam 9.00 waktu Jakarta dan dijanjikan akan tiba di Changi pada jam 12.00 waktu Singapore.

Mendarat di Changi, saya sudah mempersiapkan mental untuk menerima kondisi kota mati. Yang ada ternyata seluruh resto, cafe dan duty free shop di sana penuh sesak dengan banyak orang. Saya sempat bingung juga, oh, mungkin karena banyak orang kota yang justru datang ke Changi untuk pulang ke kampungnya bertemu sanak saudara masing-masing. Saya hampir mengira dugaan saya benar, ketika berada dalam MRT dari Changi ke tempat penginapan saya di Orchard. Suasana MRT-nya sepi sekali.

Namun, kembali saya menjadi ragu-ragu setelah melihat di stasiun Tanah Merah (interconnection dari Changi menuju ke pusat kota), penumpang mulai tumpah ruah memenuhi MRT. Saya kembali berpikir, mungkin ini adalah penduduk yang hendak bersilaturahmi ke rumah kerabat di kota yang sama. Dan, ketika berhenti di stasiun Orchard, hipotesis saya gagal total untuk diterima. Orchard penuh sesak dengan manusia! Ketika saya berjalan kaki menuju tempat menginap di Lucky Plaza, jalanan di Orchard itu benar-benar jauh dari definisi ‘sepi’.

Memang, departement store yang besar semacam Tangs dan si legendaris Takashimaya di Nge Ann City tutup selama dua hari (H dan H+1). Namun, 50% mall di Orchard Road itu tetap beroperasi. Paragon, Far East Plaza dan Ion misalnya, tetap buka. Beberapa store di dalamnya pun tetap buka, seperti Miu-Miu, Prada dan Burberry di Mall Paragon (tapi ya dompet saya yang susah terbuka untuk brand-brand seperti itu, hehehe). Restoran-restoran juga masih banyak yang berjualan. Dan seperti biasa, Lucky Plaza tetap ramai dengan blue collar worker dari Filipina. Saya malah sempat menghabiskan waktu sampai jam 21.00 untuk menggiatkan kegiatan perekonomian nasional di toko CD-DVD ‘HMV’ (mall 313) dan toko buku Borders di Wheelock Palace.

Hari kedua pun juga sama. Orchard masih ramai. Saya mencoba untuk melangkah lebih jauh ke daerah Suntec Mall dan Raffless City Link Mall, termasuk ke Marina Mall. Sepi sih memang. Tidak seramai di Orchard. 70% toko-toko di mall-mall tersebut tutup. Namun, beberapa restoran chinesse dan american fastfood tetap buka. Carefour si ritel besar pun juga tetap beroperasi, dan memberikan kegiatan kepada saya untuk memeriksa sale buku-buku up to 70% (buku-buku anak-anak, fiksi, dan social sciences) yang ditawarkannya.


Sekitar jam 15.00 saya mencoba untuk pergi ke kawasan Little India dan Serangoon Plaza yang terkenal dengan Mustafa Department Store-nya. Wah, kata ‘sepi’ sepertinya tidak dikenal di kawasan ini pada hari ke-1 CNY 2011. Ya memang sih, saya bisa pastikan 70% pengunjungnya adalah bangsa rumpun tamil (India, Bangladesh, Pakistan, Srilangka), yang di kota Medan umumnya disebut dengan ‘kaum keling’. Tentunya, semakin membuat saya yang berkulit kuning ini menjadi seperti mutiara di tengah-tengah tanah hitam, hehehe. Kawasan Orchard pun juga masih tetap ramai pada jam 21.00 ketika saya pergi ke bandara Changi (yang juga masih tetap ramai pada jam itu) untuk menjemput istri saya dari Jakarta..

Jadi, Singapore sepi on CNY? Ah, jangan terlalu percaya dengan kabar burung lah..Percaya lah pada burung milik sendiri atau pun milik pasangan masing-masing saja, hehehe..

About me..

Foto saya
I've been passing time watching trains go by.. All of my life, lying on the sand watching seabirds fly.. wishing there would be, someone's waiting home for me..