Dulu sebelum menikah, saya adalah orang yang tidak terlalu perduli dengan
brand dari sepatu, baju atau pun tas, baik untuk busana pria mau pun wanita. Kalau pun saya memakai busana dengan
brand-brand tertentu, itu lebih dikarenakan upaya Ibu saya yang sering membelikan saya busana dengan
brand-brand itu tadi (kalo beli sendiri, ogah, sayang duitnya, hehehe). Umumnya sih
high branded yang saya miliki seperti Burberry, Salvatore Ferragamo atau pun misalnya Valentino, walau pun
sih high brand tersebut tetap kita peroleh dari program-program
sale yang
out of season.. hehehe.. Kalo beli yang
new arrival, gak mampu la yaw! Hehehe. Yah, terkadang ada kepuasan tersendiri dengan memakai busana dengan
high brand tertentu, selain memang kualitasnya OK punya juga
sih.

Begitu menikah, ternyata istri saya ini termasuk wanita yang tergila-gila
high brand untuk
handbags (tas), sepatu atau sandal, dan juga parfum. Koleksi
brand bajunya sih boleh jadi biasa-biasa saja, tapi begitu berbicara mengenai tiga asesoris tadi, ultimatumnya adalah ‘
no high brand no services from the wife’. Wah, ya saya sebagai suami yang takut kehilangan servis istri tercinta juga jadi ikut-ikutan mempelajari kategori-kategori
high brand untuk barang-barang kegemaran dia tadi. Termasuk survey harga di beberapa tempat dan di beberapa negara, dengan tujuan.. ya apalagi
kalo bukan buat
dapet yang termurah dengan model yang sama
dong ah? Hehehehe..
Di Singapore, istri saya dan saya langsung terbengong-bengong melihat orang-orang Singapore ber-
sliwer-an dengan menggunakan Tas Burberry, Louis Vuitton, Prada, Miu-Miu, Salvatore Ferragamo, Hermes (ih, yang ini bisa puluhan juta rupiah bo harganya di Indonesia), Gucci, Aigner, Kate Spade atau pun Coach! Di jalan, di MRT, di mana pun, di setiap sudut kota. Saya dan istri saya langsung ‘usil’ untuk meneliti, kira-kira ini ‘ori’ atau ‘KW’ ya? Namun, kami sepakat, setelah mengerahkan ilmu-ilmu ‘penelitian’ yang kami miliki, tas-tas itu rata-rata ori semuanya. Yah, ada lah yang 1-2 KW-nya. Lebih hebohnya lagi, banyak orang-orang Singapore (dari logat bicara Singlish-nya) yang membeli langsung di
store pada saat itu juga, dan keluar
store menenteng tas belanjaan berlogo Hermes, Louis Vuitton or Burberry. Orang-orang Singapore, edan juga belanja begitu, berasa
kayak belanja di carefour i kali ya?
Maen tunjuk, langsung.. :P

Saya jelaskan ke istri saya, pada dasarnya manusia harus memiliki eksistensi untuk penampilannya. Berhubung di Singapura itu persaingan tingkat tinggi sekali, jadi jangan heran kalau ukuran penampilan pun juga jadi patokan sejati untuk tetap eksis di masing-masing individu. Mengingat bahwa transportasi umum di Singapura sudah cukup memadai, maka banyak warga negaranya yang tidak terlalu pusing untuk ‘eksis’ dalam hal mobil (tidak seperti di Jakarta yang berlomba-lomba berganti mobil dan agak menghemat di penampilan berbusananya) dan mengalihkan sebagian hartanya pada
branded things untuk penampilan busananya.

Di lintasan rel salah satu stasiun MRT yang kami kunjungi, kami membaca tanda tertulis, “
Value Life, Act Responsibily (Hargailah hidup dan bertindaklah bijak).” Istri saya langsung bengong, “
He? Banyak bunuh diri apa ya di rel MRT
kayak gini?” Saya terangkan kepada dia, bahwa target dan tingkat persaingan hidup di Singapura itu sangat tinggi. Bagi yang lemah imannya,
stress tinggi dan berujung kepada keputusaan hingga bunuh diri jika gagal mencapai target adalah hal yang sering terjadi, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa. Istri saya langsung nyengir, “Ya ampun! Buat apa juga
mati-matian belajar dan kerja supaya bisa beli Louis Vuitton, terus
abis itu bunuh diri?
Nggak banget deh..” Saya langsung mencuri kesempatan, “
Lah, daripada kayak kamu, bikin suami jadi
kepengen bunuh diri gara-gara berulang kali minta dibelikan Louis Vuitton?
Hayo?”
Jawaban balik dari istri saya.. hmm.. cukup saya dan istri saya saja yang tahu deh.. hehehe..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar