Jumat, 11 Februari 2011

Singapore on CNY 2011 (7): Singapore.. Indonesia cabang Luar Negeri?

Dulu pertama kali saya ke Singapore di tahun 1995, pergi ke Singapore itu terasa sekali ke luar negerinya. Walau pun banyak juga bertemu orang Indonesia di sana, tapi melihat Singapore itu benar-benar seperti luar negeri deh. Di tahun 1998, ketika kembali saya berkunjung ke negara itu, walau pun banyak dipenuhi oleh orang-orang Chinesse Jakarta yang menghindar dari kerusuhan Mei 1998, tetap juga Singapore itu masih terasa luar negerinya. Berbicara dengan pramuniaganya pun juga hampir tidak ada yang bisa menggunakan Bahasa Indonesia, dan hampir tidak ada petunjuk dalam Bahasa Indonesia sama sekali di berbagai sektor komersil.

Sekarang ini, berada di Singapore, kok jadi gak jauh beda seperti berada di Indonesia ya? Pramuniaganya pun sudah pandai berbahasa Indonesia. Noted, Indonesia loh, bukan Melayu lagi. Misalnya pramuniaga di Takashimaya pun ketika melayani kami juga menggunakan bahasa Indonesia dengan lafal ‘a’ untuk huruf a, bukan lafal ‘e’ untuk huruf a seperti yang terdapat pada bahasa Melayu. Selain itu, menu-menu makanannya pun juga gak jauh beda seperti restoran-restoran yang ada di Jakarta, even memasang tanda ‘Halal dan No Pork’! Sesuatu yang dulu saya jarang jumpai di Singapore dan membuat beberapa kali saya akhirnya ‘secara tidak sengaja’ memakan yang ‘tidak halal atau pork’ tadi.. hehehehe.. ya abis, udah ngomongnya ga jelas gitu, dan ga ada tanda ‘Pork-Pork’-an, meneketehe kalau itu adalah makanan ‘terlarang’ bagi saya.

Saya sempat mengkonfirmasikan hal ini dengan teman saya yang sudah cukup lama bekerja di Singapore. Menurut dia, Singapore itu sebenarnya sedang berada dalam stage krisis stok warga negara. Seperti yang kita ketahui, Singapore itu negara kecil dan tidak memiliki sumber daya alam sama sekali. Jalan satu-satunya agar negara menjadi maju adalah dengan memicu kinerja dari warga negaranya. Teman saya beranggapan, di Singapore terdapat anggapan bahwa kinerja yang tinggi akan dapat dicapai dengan mengetengahkan logika yang tinggi pula.

Saking tingginya logika dari para warga negara, dalam menikah dan memiliki anak, hitung-hitungan mereka pun sangat njelimet. Berapa biaya yang akan dihabiskan bila punya 1 anak, 2 anak atau lebih? Kesempatan apa yang mereka korbankan dalam berkarir bila memiliki anak (bagi para wanita)? Tidak seperti orang Indonesia yang umumnya menjadikan pernikahan dan memiliki anak sebagai satu tujuan hidup yang mulia (terutama bila dikejar-kejar oleh orang tua karena umur sudah berada di tapal batas usia kritis, berkaca dari masa lalu pribadi, hehehe) dengan prinsip, “Menikah dan memiliki anak akan membawa rejeki tersendiri”, malah warga negara Singapore seperti agak-agak alergi terhadap pernikahan dan natalitas.

Walhasil, pemerintah Singapore kebat-kebit untuk mengisi stok kependudukan negaranya, dan membuka kesempatan kepada orang-orang asing untuk menjadi warga negara Singapore melalui berbagai cara. Misalnya membuka kesempatan bekerja (sebagai ekspatriat, dan perlahan-lahan akan dibujuk untuk menjadi permanent resident) dan beasiswa bersekolah (dengan ikatan dinas bekerja di Singapore dalam jangka waktu beberapa tahun). Indonesia sebagai salah satu negara yang stok penduduknya berjumlah dahsyat serta berpotensi tinggi menjadi ‘pengisi’ mayoritas kewarganegaraan Singapore. Yah, jadinya begitu deh, banyak sekali orang Indonesia menjadi penduduk Singapore, dan membuat Singapore menjadi ke-Indonesia-Indonesia-an.

Terlepas dari stress yang sangat tinggi sekali dalam bekerja di Singapore, negara ini memang menawarkan banyak kelebihan bagi warga negaranya. Keamanan (jangan takut untuk dicopet bila berdesak-desakkan di MRT, ini bukan busway di Blok M, hehehe), kenyamanan (bebas polusi, sarapan di pinggir jalan tidak dicampur dengan asap knalpot dan aroma bensin, hehehe), tidak ada kemacetan (transportasi umumnya sudah uokeh gitu loh jeh) dan tingkat pendapatan yang layak. Khusus untuk tingkat pendapatan yang layak, bayangkan saja, gaji seorang fresh graduate dari universitas yang ‘biasa-biasa’ saja (tidak perlu top ten-top ten amat) adalah SGD2500-3000, dengan perbandingan harga bensin premium SGD2 per liter (seorang fresh graduate yang baru bekerja dapat membeli sekitar 1200-1500 liter premium).

Di Indonesia, untuk mendapatkan gaji Rp2,5-Rp3 juta pada saat pertama kali bekerja, Anda harus menjadi lulusan yang lumayan top dari Universitas yang ternama, dan harga bensin premium (yang di masa depan terlarang bagi angkutan pribadi, dan kita harus merogoh kocek sebesar Rp8.000 per liter untuk bensin pertamax) adalah Rp4.500 per liter (seorang fresh graduate yang baru bekerja di Indonesia hanya dapat membeli 500-600 liter premium, oh noted, kalau harus beli pertamax, hanya mendapat 300-400 liter saja). Belum lagi tingkat keamanan yang memprihatinkan (kerampokan, kecopetan, itu hal yang biasaaa di Indonesia), tingkat polusi yang tinggi dan kemacetan yang edan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Pusing dah ah!

Jadi, mari kita beramai-ramai menjadi warga negara Singapore?

Tidak ada komentar:

About me..

Foto saya
I've been passing time watching trains go by.. All of my life, lying on the sand watching seabirds fly.. wishing there would be, someone's waiting home for me..