Sekilas Mengenai Hot MoneyWalau pun belum terdapat definisi yang jelas mengenai
hot money, dalam pengertian ekonomi,
hot money merupakan uang yang dapat keluar masuk ke satu negara (untuk ditanamkan dalam instrumen keuangan) dengan bebas, umumnya berjangka pendek atau dalam waktu yang tidak terlalu lama. Efek positifnya, uang masuk tersebut dapat menjadi nilai tambah bagi perekonomian suatu negara, yang sekaligus juga dapat memberikan efek negatif cukup dahsyat bila bergerak keluar sewaktu-waktu tanpa diduga sebelumnya.
Hot money adalah dana yang berasal dari pihak asing, atau dari luar Indonesia. Seperti yang kita ketahui, ekonomi dunia (baca: negara-negara maju) saat ini sedang dalam situasi yang kritis. Pada awal bulan November 2010 misalnya, Amerika melalui The Fed (bank sentral negaranya) memutuskan untuk mengucurkan stimulus ke pasar sebesar USD600 Miliar, dengan tujuan untuk menggairahkan ekonomi nasional dan mereduksi tingginya angka pengangguran (9,6%) serta indikasi deflasi. Bahkan sebelumnya, pada bulan Maret 2009, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa sepakat untuk meluncurkan program stimulus ekonomi senilai EUR400 Miliar Euro yang akan diterapkan hingga tahun 2011. Dan, seperti tidak ingin kalah, pada Agustus 2010 giliran Jepang yang mengumumkan kebijakan stimulus Ekonomi senilai USD61 miliar.
Aksi The Fed, Uni Eropa dan Jepang tersebut tentunya memberikan pengaruh terhadap negara lainnya di dunia khususnya di negara-negara berkembang (
emerging market). Mengingat bahwa suku bunga dolar AS, Euro dan Yen sangat rendah dan diperkirakan akan tetap rendah hingga 2011 (sebagai konsekuensi rapuhnya kondisi ekonomi di wilayah tersebut), maka mata investor global pun ‘berkilau’ melihat pasar
emerging market sebagai pasar potensial yang dapat memberikan
return tinggi untuk investasi keuangannya. Di Indonesia fenomena
hot money ini terwujud dalam tiga instrumen keuangan, yaitu SUN, SBI, dan saham. Sebagai catatan,
hot money yang masuk ke Indonesia dalam 9 bulan pertama 2010 adalah sebesar Rp115 Triliun, dengan porsi 64% ke dalam SUN, 18% ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan 18% ke pasar saham. Diduga lebih dari Rp20 Triliun porsi
hot money tersebut membanjiri pasar saham Indonesia dalam 4 bulan terakhir, yang juga memicu kenaikan yang signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan menjadikan bursa Indonesia sebagai bursa dengan imbal hasil tertinggi di Asia.
Pengaruh Hot Money terhadap Perekonomian NasionalDi satu sisi terlihat bahwa
hot money yang masuk dapat menambah cadangan devisa USD dan mata uang asing dalam perekonomian nasional, yang juga berarti mengurangi kelangkaan devisa dan otomatis memperkuat nilai tukar (kurs) mata uang Rupiah. Namun, perlu diwaspadai bahwa penguatan Rupiah yang terus menurus akan menggerus cadangan devisa BI berdenominasi Rupiah. Oleh sebab itu, selanjutnya BI selaku regulator akan melakukan intervensi di pasar uang, dengan menjual rupiah dan membeli USD serta mata uang asing lainnya, walau pun tetap menimbulkan pertanyaan mengenai besarnya kemampuan persediaan ‘material’ BI dalam mengantisipasi derasnya stimulus The Fed dan negara-negara asing lainnya.

Masalah lain juga akan timbul bila cadangan devisa BI dalam USD meningkat secara signifikan dan memperkuat kurs USD. Rupiah yang beredar di pasar dalam jumlah besar akan berpotensi memicu inflasi bila tidak terserap oleh sektor riil, dan yang seperti kita pahami, bahwa kondisi sektor riil di Indonesia pun tidak begitu menggairahkan pada saat ini. Sebaliknya, bila
hot money ini mendadak sontak keluar dari Indonesia dan pindah ke negara lain (yang lebih menggiurkan bagi para spekulan, misalnya), dampak buruk dalam bentuk penguatan kurs USD dan beberapa mata uang asing lainnya secara berlebihan serta sentimen pasar terhadap harga saham dan kegiatan konsumsi akan memacu timbulnya inflasi dan ketidakstabilan ekonomi nasional.
Untuk itu, dalam meredam potensi kenaikan inflasi, BI akan melakukan ‘sterilisasi’ dengan tujuan menyerap kembali ekses likuiditas Rupiah melalui mekanisme operasi pasar terbuka (OPT) atau penjualan SBI. Sebagai informasi, nilai SUN AS bertenor 5 tahun hanya memberikan imbal hasil sebesar 1,8%, dan dengan rate SBI yang berkisar pada 6,5% pada saat ini tentu saja akan membawa ‘kerugian’ sebesar 4,7% yang sedapat mungkin dihindari oleh BI di dalam melakukan OPT. Dengan demikian, keberadaan
hot money jelas mempersulit BI di dalam menentukan kebijakan stabilitas moneter apa pun yang diambilnya, karena masing-masing kebijakan telah memiliki risiko tersendiri.
There can be Miracles when You BelieveTidak dapat dipungkiri bahwa pergerakan sentimen pasar adalah faktor yang menentukan terhadap besarnya efek positif dan negatif dari
hot money itu sendiri, yang berarti bahwa kepercayaan publik/investor terhadap Pemerintah Indonesia di dalam menetapkan kebijakan politik dan ekonomi menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan.
Dalam jangka pendek, pembatasan SBI
one-month holding period yang baru diterapkan pada pertengahan tahun 2010 ini merupakan salah satu upaya pemerintah (dalam hal ini BI) untuk menjaga kepercayaan publik. Batasan tetap diberikan, namun tidak mengikat, yang berarti bahwa hot money dari para spekulan asing hanya tidak dapat bergerak ‘bebas’ selama sebulan pada SBI dimaksud. Alternatif
capital control (pengendalian modal yang ketat dengan impresi ketidakpercayaan pemerintah terhadap publik/investor) tidak dirasa sebagai solusi jangka pendek yang tepat, mengingat UU BI menganut sistem
capital free flow (devisa bebas, dana asing bebas masuk dan keluar kapan saja) maka
capital control kurang sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh pengalaman buruk Thailand di tahun 2006 yang mengalami penurunan kepercayaan investor akibat penerapan
capital control. Hanya dalam waktu 1 hari setelah
capital control diberlakukan, kapitalisasi 20 perusahaan besar di Thailand anjlok tajam dipasar modal.

Menjaga kepercayaan publik terhadap terselenggaranya situasi politik negara yang aman dan dinamis juga merupakan salah satu hal yang harus dilakukan untuk mengupayakan kepastian
return dalam pasar keuangan. Terorisme dan tindakan anarkis bersifat politis umumnya langsung akan membawa guncangan kepada
return di pasar keuangan sekaligus memacu
hot money untuk bergerak keluar-masuk dalam pola yang lebih liar. Sebagai tambahan,
rating Indonesia yang baik di tahun 2010 dari
The Fitch Ratings,
Standard & Poor’s dan
Moody’s Investors Service adalah benda berharga yang seyogyanya terus dijaga dan dipertahankan secara berkesinambungan
Yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa pemerintah harus berupaya meningkatkan kepercayaan publik dalam menggerakkan sektor riil, terutama di dalam pembangunan proyek-proyek milik negara, sehingga pergerakan liar
hot money akan dapat dialihkan ke luar dari sektor keuangan dan moneter (yang akan selalu menimbulkan permasalahan ‘lingkaran setan’ tak berujung) menuju kepada sektor fiskal, terlebih investasi dalam proyek-proyek tersebut lebih bersifat jangka panjang dan dapat meredam pergerakan liar
hot money yang umumnya berjangka pendek dan cepat. Hanya saja, tipisnya kepercayaan publik terhadap peran pemerintah di dalam sektor rill yang sarat dengan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) menjadi penghalang yang cukup besar untuk memindahkan perhatian investor dari sektor keuangan.
There can be miracles, when you believe.. The question is, do you believe? Ask to yourself.. Not to Mariah Carey
or even Whitney Houston.. :P
Salam..