Saya ini termasuk orang yang paling malas ke masjid. Meskipun masjid di kompleks perumahan saya terletak 100m dari depan rumah orang tua saya (I’m still staying with them), kunjungan saya ke masjid tersebut bisa dikatakan tidak lebih dari 5 kali setahun. Itu pun kebanyakan untuk sholat Jumat di hari-hari libur nasional. Tarawih? Nope, better done it by myself at home, sehingga sehabis itu bisa langsung cepat tidur atau bersantai-santai.. he..he.. Juga, meskipun kantor saya memiliki masjid yang cukup megah (walau tidak terlalu besar), kunjungan saya ke masjid tersebut hanya sebatas sholat Jumat saja.
Namun, ketika berada di Aceh ini, pertama kali melintasi jalan di pusat kota, Masjid Baiturrahman sudah menarik hati saya dari jauh. Baik di pagi hari ketika saya hendak pergi ke kantor cabang tempat saya bertugas, mau pun malam hari ketika saya pulang menuju hotel. Akhirnya, ketika hari Jum’at tiba, berbekal kamera yang ala kadarnya, saya menuju ke masjid raya tersebut untuk melakukan photo session sambil beribadah sholat Jum’at.. eh.. maksudnya beribadah sholat Jum’at sambil melakukan photo session.. he..he..
Memasuki halaman masjid, nuansa historis bangunan ini mulai terasa. Walau pun telah berulang kali mengalami renovasi, sentuhan klasik dari arsitektur bangunan ini tetap terasa (renovasi terakhir dilakukan untuk memperbaiki kerusakan minor akibat bencana Tsunami, satu hal yang ajaib bahwa masjid ini tetap berdiri dengan tegak sementara bangunan-bangunan disekitarnya luluh lantak). Arsitektur masjid ini merupakan gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negeri, terutama sekali unsur-unsur Moorish, yang banyak terdapat di masjid-masjid Afrika Utara dan Spanyol. Di bagian dalam masjid, antara kolom satu dengan lainnya dihubungkan dengan plengkung patah model Persia bercorak Arabesque, juga dengan hiasan kaca mozaik pada beberapa dinding dan atapnya.
Mesjid ini berumur cukup tua, dibangun semasa Sultan Iskandar Muda berkuasa (Abad 16). Di abad 18 & 19, mesjid ini juga menjadi benteng pertahanan pasukan Aceh yang berperang melawan Belanda. Dalam hal ini, betapa pun kita mengutuk aksi Belanda yang sangat kurang ajar dan tak tahu adat pada saat itu, kita juga harus berterima kasih kepada mereka. Belanda lah yang melakukan pembakaran masjid ini hingga luluh lantak agar pejuang Aceh tidak mendapatkan tempat berlindung lagi, namun Belanda juga yang membangun masjid ini kembali untuk menarik simpati rakyat Aceh (setelah berkonsultasi dengan Snouck Hurgronje, pakar antropologis yang ahli dalam filsafat dan kultural keagamaan, yang juga menjadi dalang untuk mengadu domba ulama-ulama di Aceh). Bangunan terakhir dari Belanda di abad 19 inilah yang dipertahankan hingga saat ini.
Entah sugestif atau tidak, saya benar-benar betah berada di masjid tersebut (walau tetap, pada saat pak usztad melayangkan kotbahnya sebelum Jum’at-an dimulai, saya tetap tidur dengan suksesnya.. he..he). Banyak masjid-masjid mewah dan megah yang saya pernah kunjungi di kota-kota besar di Indonesia, namun hati saya hanya terpaut pada masjid ini (walau saya tetap lebih cinta Jakarta.. jadi, bagaimana kalau mesjidnya kita pindah saja ke Jakarta? He..he..). Rasa kagum, iklas, tawakal dan mistis, seluruhnya bercampur jadi satu ketika sedang berada di dalam masjid ini.
So, if you have a chance to visit Aceh someday, sedapat mungkin jangan Anda lewatkan kesempatan untuk mengunjungi Masjid Baiturrahman, the one that could possibly make you left your heart sincerely..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About me..
- The Heart is A Lonely Hunter
- I've been passing time watching trains go by.. All of my life, lying on the sand watching seabirds fly.. wishing there would be, someone's waiting home for me..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar