Pekerjaan saya sebagai verifikator (kata-kata ini lebih senang saya gunakan karena maknanya lebih halus dan tidak mendatangkan kebencian.. hehehehe), membuat saya selalu memulai hasil analisis saya dengan kata-kata, “Berdasarkan sampling, diketahui bahwa..” Well, untuk bercerita kali ini, saya pun juga berupaya untuk memulai dengan kata-kata, berdasarkan sampling, saya ingin mengatakan bahwa di Kota Aceh ini Anda akan mendapatkan kepastian yang cukup untuk beberapa fasilitas (you are protected well). Bank, ATM, toko-toko, makanan, dll., semuanya ada disini. Bahkan branded makanan junkies dari luar seperti KFC, A&W, Texas pun bisa ditemukan disini walau masing-masing hanya memiliki 1 outlet.
Tapi soal being served? Eits! Nanti doeloe.. ;P
Berdasarkan sampling looohh.. hehehehe..
Pelayanan beberapa fasilitas yang lama dan membingungkan. .
Misalnya, di daerah pusat kota, ada traditional food court yang bernama CB (sorry, inisial, saya takut di-somasi.. ;P). Di CB ini ada stand Martabak Telor. Sebagai seorang penggemar makanan tersebut, saya selalu berupaya untuk mencobanya di setiap kali kesempatan berkunjung ke satu daerah, untuk membandingkan ciri khas Martabak dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Waktu itu masih pukul 18.00, dan saya menuju ke penjual yang sedang sibuk memotong-motong bahan-bahan baku Martabak tersebut, “Mas, pesen satu yaa..” Anda tahu apa jawabnya? Dengan menggunakan bahasa Indonesia campur bahasa Aceh yang saya tidak mengerti, kira-kira begini jawabnya, “Maaf Mas, bisa menunggu satu jam? Soalnya saya sedang menyiapkan bahan-bahannya..”
Aje gile! Satu jam? Lo kata lo mo check-sound buat maen band di panggung?!! Saya batal memesan martabak dan langsung memesan Mie Aceh yang sebenarnya gak terlalu saya sukai. Yah, tapi daripada gak makan sama sekali..
Kemudian, keesokan harinya, kami makan di Restoran Mie Aceh ‘R’. Tempatnya penuh sesak! Wah, pasti ini enak banget. Kalo gak, gak mungkin yang datang sebanyak ini. Saya bersama rekan kerja saya memesan mie dengan beragam rasa, ada yang mie rebus, ada yang mie goreng, ada yang mie goreng telor.. dsb. Setelah menunggu hampir 30 menit (lama sekali) untuk pesanan kami, tiba-tiba datanglah ke meja kami.. SEMUANYA MIE GORENG POLOS! Jadi, pesanan-pesanan dengan beragam variasi yang kami tulis di kwitansi tadi, batal demi hukum! Berhubung semuanya sudah terkontaminasi dengan emosi seperti pejuang GAM, Mie Goreng polos pun disikat juga sampai tandas! Gilanya lagi, waktu saya mau melakukan pembayaran, di bon masih tertulis pesanan kami dengan variasi-variasi mie yang harganya lebih mahal daripada mie goreng polos yang kami makan. Walhasil saya langsung mengultimatum mas-mas kasir untuk mengeluarkan jurnal akuntansi koreksi atas harga-harga tersebut!
Bukan hanya di restoran, tapi ini terjadi di Laundry. Mungkin saya yang salah memilih tempat laundry ‘A’, tapi cukup membingungkan bahwa untuk 3 kemeja dan 3 celana panjang, lengkap dengan 3 pasang pakaian dalam (kaus dan celana).. Anda diharuskan menunggu sebanyak.. 5 hari! Tapi, karena saya tidak mau ambil pusing, saya iyakan, hari Sabtu laundry saya ‘cek-in’, dan dijanjikan hari Rabu-nya ‘cek-out’. Kemudian, pada hari Rabu jam 15.00, saya datang ke tempat laundry untuk mengambil pakaian-pakaian saya. Tahu apa hasilnya? “Mas, belum selesai.. jadinya baru jam 17.00. Karena batas akhir toko tutup kan jam 17.00!” Yang tadinya saya hampir ngamuk-ngamuk habis-habisan, tapi begitu mengingat bahwa mungkin ini karma saya karena saya sering sekali melakukan sholat di waktu-waktu perbatasan (misalnya lohor yang 5 menit selisih dengan ashar, ato ashar yang selisih 5 menit dengan magrib, dan seterusnya.. hehehe), saya urungkan.. Saya pasrah, dan menunggu saja.. hik.. hik.. hik..
Atau, kealpaan mengerjakan orderan Anda..
Hotel yang saya diami ini berbintang lima. Pokoknya keren banget dah! Maklum, kan ada corporate rate. Jadi, harus dimanfaatkan dengan maksimal.. hehehe. Tapi, di hari Minggu ketika saya biasa bangun siang, mas-mas cleaning service mengetuk kamar saya jam 9 pagi, “Mas, mau dibersihkan?” Saya bilang ke dia, “Bisa jam 12? Nanti jam segitu saya keluar.” Dia mengiyakan, dan jam 12 saya pergi mencari makan siang serta belanja oleh-oleh. Sebelum pergi, saya gantung tulisan ‘please clean up the room’ di depan pintu kamar. Pulang dari berpergian, saya tiba di hotel jam 16.30. OK, sekitar 4 jam lebih saya meninggalkan hotel. And, guess what? MY ROOM WAS STILL NOT CLEAN! Persis seperti keadaan waktu saya meninggalkannya. Seumur-umur saya menginap di hotel berbintang lima, baru sekali ini saya mengalami hal seperti ini. Maka dengan emosi yang ditahan sampai ke titik maksimal, saya telpon resepsionis untuk mengirimkan cleaning service ke kamar, yang baru datang sekitar 15 menit kemudian.. Haduuuuuhhhhhh..
Yang lebih parah lagi.. inkonsistensi dalam menetapkan harga!
Atas dasar promosi orang-orang di kantor cabang kami di Aceh, kami mencoba ikan bakar di AA. Katanya enak, walau agak mahal. Kebetulan saya dinas dengan Mas X juga (Mas X, the one who were mentioned in my note of “Beauty, Brain & Behavior, suatu studi komparatif”). Mas X yang asli orang Aceh tapi berdomisili di Jakarta ini muncul sebagai juru runding harga. Harga ikan yang ditetapkan Rp35 ribu, yang menurut kami terbilang mahal. Tapi setelah sang penjual berbincang-bincang menggunakan bahasa Aceh dengan Mas X, Mas X menginformasikan kepada kami, “Kata dia, gampang lah, makan aja dulu, 35rb itu bisa kurang kok, kan yang makan banyak, gak mungkin lah saya bohong, kalau saya bohong, manalah ada yang mo kemari lagi?”
Berbekal kepercayaan kepada negosiasi tersebut, kami setuju untuk menyantap hidangan ikan bakar.. yang menurut saya sih.. rasanya biasa-biasa aja (jauh lebih enak yang ada di depan kantor saya.. tapi saya lupa.. namanya apa ya?). Setelah selesai menyantap ikan-ikan tersebut, saya selaku bendahara menuju ke meja kasir, dan bengong setelah melihat ikan-ikan tersebut bukannya di-charge lebih murah dari Rp35 ribu, malahan di-charge Rp40 ribu per ekor! Alasan mas-mas kasir-nya, “Ikannya besar-besar.. saboh ampo puloh lah..” Kalo gak salah dengar sih begitu. Buru-buru saya panggil Mas X, dan Mas X pun jadi bengong-bengong melihat final result harga seperti itu. Muka Mas X penuh dengan emosi. Tapi saya buru-buru membayar dan langsung menyeret Mas X pergi dari tempat itu, “Mas, udah deh, cuman Rp40rb doang selisih semuanya, mending dibayar aja, daripada entar digorok rencong! Lagian kan juga udah kemakan ini Ikannya…”
Tahu apa jawaban Mas X? “Soalnya Mas Adhi, saya jadi mulai gak percaya diri sama Bahasa Aceh saya. Kok setelah saya nego, harganya lebih tinggi ya?” Saya ngakak! Hehehehe.. Sejak itu sepertinya Mas X bener-bener ogah untuk jadi juru runding harga-harga di Aceh lagi.. gak percaya diri niyeeee.. ;P
Begitulah, mungkin ini hanya sampling yang salah.. tapi, tanpa bermaksud untuk menyinggung pihak-pihak tertentu, melihat kualitas pelayanan ‘rata-rata’ seperti itu, saya jadi sempat bertanya-tanya dalam hati, “Berani benar ya mereka minta merdeka dari Indonesia? Yakin sanggup mengatur negara sendiri? Mengatur pesanan makanan aja gak becus..” Hehehehe.. sorry..
But once again.. perhaps, it was my sampling which was not right.. ;)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About me..
- The Heart is A Lonely Hunter
- I've been passing time watching trains go by.. All of my life, lying on the sand watching seabirds fly.. wishing there would be, someone's waiting home for me..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar