Lagi-lagi nih, karena bidang pekerjaan saya erat hubungan dengan bidang bisnis, manajemen dan ekonomi, hampir sebagian besar kenalan atau kerabat yang bertemu saya dalam 1 (satu) bulan belakangan ini (termasuk pada saat silaturahmi Lebaran), bertanya kepada saya mengenai istilah horror (saya katakan horror karena mereka bertanya seakan-akan istilah itu merupakan ancaman seperti virus HIV) “Redenominasi”.
Dokter gigi saya, dalam setiap kunjungan saya selalu bertanya, “Sebenarnya menurut you negara kita itu pantes nggak untuk mulai ber-redenominasi?” Atau pertanyaan salah satu kerabat saya, “Redenominasi itu apa emang sengaja dihembuskan biar orang pada lupa sama kasus Century ya?" Saya sempet bengong dengan analisisnya yang kok jauh bener, walo sempet ragu, jangan-jangan iya ya, soalnya begitu masalah redenominasi mengemuka, langsung deh masalah Century ‘terlupakan’. Teman saya bahkan lebih ekstrim lagi, “BI itu udah kurang kerjaan banget ya pake ngusulin Redenominasi segala? Udah deh, daripada begitu, mending orang-orang BI itu disuruh bantuin gue aja di kantor. Kerjaan gue banyak nih.”
Sedemikian takutnya publik terhadap redenominasi. Kalau saja redenominasi ini dijadikan film horror/thriller, rasanya film-film Stephen King lewat dah..
Sesuai dengan informasi yang dipublikasikan oleh BI, redenominasi ini adalah penyederhanaan digit mata uang, yang juga dibarengi oleh penyederhanaan digit harga-harga barang. Jadi misalnya, harga sepaket McDonalds Rp20.000, nanti akan di-redenominasi menjadi Rp20 (tiga nol dibelakangnya dihilangkan), dan BI akan mencetak uang Rp20 sebagai pengganti Rp20.000. Sebenarnya ide ini cukup sederhana dan tidak terdengar menakutkan, karena dimaksudkan agar digit mata uang negara juga kompetitif dibandingkan dengan mata uang asing yang kuat (impresi yang berbeda, harga sepaket McD di US adalah USD5 dan di Indonesia Rp20.000, dengan komparasi bila harga sepaket McD di US adalah USD5 dan di Indonesia Rp20).
Namun, pengalaman buruk yang dialami oleh Indonesia memang membawa kesan tersendiri bagi beberapa generasi lama (yang umumnya lahir sebelum atau dalam kurun waktu 1 s.d 5 tahun setelah kemerdekaan Indonesia). Ambil saja contoh Dokter Gigi saya yang umurnya seangkatan Ibu saya kembali mengenang masa-masa tahun 1960-an, “Apa jangan-jangan redenominasi itu hanya untuk menyamarkan ‘sanering’ seperti tahun 1960 ya? Waktu itu uang dipotong, menjadi tidak bernilai, sementara harga barang-barang tidak berubah (misalnya sepaket McD tetap berharga Rp20.000, sementara uang yang Anda miliki dari Rp20.000 dipotong nilainya menjadi Rp20, sehingga daya beli masyarakat menurun).” Saya meyakinkannya berulang kali bahwa konsep redenominasi bukan seperti itu. Harga barang dan nilai uang sama-sama dipangkas nominal nilainya. Ini hanya masalah nominal saja, bukan masalah nilai barang itu sendiri.
Yang semula saya tidak terlalu perduli dengan urusan redenominasi ini, akhirnya saja jadi menerabas ke beberapa koleksi jurnal dan penelitian ilmiah dalam bidang ekonomi untuk kategori currency values and redenomination. Dari jurnal tersebut diketahui, bahwa beberapa negara yang berencana meredenominasi mata uangnya ini rata-rata membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk finalisasi kebijakannya. Dan, negara-negara yang melakukannya, ya, negara-negara dengan mata uang yang tidak terapresiasi secara internasional (istilahnya, mata uang negaranya nggak diminati atau nggak banyak fans-nya, hehehe, bukan kayak USD, GBP atau Euro yang fans-nya berjibun tersebar di muka bumi ini). Hasil penelitian membuktikan, ada negara yang sukses beredenominasi, dan ada juga yang gagal.
Kegagalan tersebut terutama sekali disebabkan karena ketidakpercayaan warga negara kepada negara/pemerintah yang meredenominasi mata uangnya. Di Rusia misalnya, publik merasa pemerintah seperti merampok kekayaan rakyat dengan meredenominasi mata uangnya, sehingga setelah diredenominasi, inflasi pun tetap tinggi di negara itu. Hal serupa juga terjadi di Zimbabwe, Argentina dan Brasil. Korea Utara justru lebih tragis lagi dengan proyek redenominasinya, karena ternyata warga tidak bisa menukarkan stok uang Won (mata uang Korea Utara) lama menjadi Won baru yang telah disederhanakan digit-nya karena berbagai alasan yang tampaknya ‘disengaja’ oleh pemerintah untuk mengatasi inflasi (dengan cara otoriteristik yang cukup memaksa).
Bagaimana halnya dengan Indonesia? Sepertinya sih, dari reaksi yang saya dapatkan selama ini mengenai redenominasi di negara kita, rasanya kepercayaan publik terhadap pemerintah Indonesia masih nol. Publik masih menganggap bahwa proyek redenominasi ini bukan sekedar menyederhanakan digit mata uang, namun lebih ke arah strategi politik dan ‘membungkus sesuatu’. Sebenarnya agak berbahaya juga untuk melaksanakan redenominasi di tengah-tengah ketidakpercayaan publik. Anda bisa bayangkan? Publik yang panik akan buru-buru menghabiskan uang yang dipegangnya dalam bentuk berbagai barangdan komoditi, sehingga inflasi malah bisa lebih membubung tinggi. Atau misalnya mereka malah menukarkan uang lokal ke mata uang asing, melarikannya ke luar negeri, dan menimbulkan krisis valuta asing kemudian.
Dalam pemikiran yang tulus, saya percaya niat baik pemerintah dalam redenominasi ini adalah untuk membuat posisi mata uang kita lebih bergengsi di mata dunia (sekaligus menghemat tenaga kasir di Bank mau pun di BI untuk menghitung lembaran-lembaran uang Rupiah kita, barangkali, hehehehe). Alangkah indahnya bila nilai USD1 = Rp9 misalnya dan bukan Rp9000. Namun, perlu dicermati juga bahwa permasalahan ini tidak akan selesai begitu saja bila dihadapkan pada satu benda penting bernama ‘ketidakpercayaan’. Ketidakpercayaan publik terhadap kinerja pemerintah akan dapat melonjakkan inflasi (kenaikan harga barang karena kelangkaan stok di pasar akibat paranoia publik dalam perilaku pembelanjaannya), dan bukan tidak mungkin, hasil dari redenominasi yang memangkas tiga digit, justru malah akan menimbulkan tiga digit baru (balik ke posisi semula) dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama dan tidak terduga sebelumnya.
There can be miracles, when you believe..
The question is, do you believe?
Ask about this to yourself, not to Mariah Carey or Withney Houston.. :P
Salam..
Jumat, 17 September 2010
Kamis, 02 September 2010
THE IDEAL IS THE IDOL, NOT THE IDLE
Sepupu saya sebenarnya sudah memiliki pekerjaan, namun sepertinya jam kerja shifting (bisa masuk jam 8 pagi, jam 4 sore, atau pun jam 12 malam) dengan tingkat bayaran yang cukup minim dan tanpa mendapatkan tunjangan yang layak (no medical or overtime allowance) membuat dia gerah dan ingin cepat-cepat hengkang dari pekerjaannya. To be honest, apa yang dia kerjakan itu sejujurnya bisa dilakukan oleh lulusan SMA. Namun, hare gene, di saat mencari pekerjaan susahnya bukan main, mau tidak mau, dia harus menerima dulu apa pun yang ada agar tidak terlalu lama menjadi seorang yang idle (tidak punya pekerjaan) walau pun pekerjaan itu terasa under qualification dengan strata S1 yang dimilikinya dan sangat jauh sekali untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang idol.. hehehe.
Dan, dalam satu kesempatan karena mungkin dia begitu jengkel dengan nasibnya, pada saat membaca koran, langsung lah dia berujar, “Indonesia ini gimana sih? Saling nyalah2in mulu kerjaannya! Pemerintah bilang kalo BI meningkatkan suku bunga, katanya meredam inflasi namun mempersulit sektor riil dan mempersulit tersedianya lapangan kerja, tapi kalo suku bunga diturunin, inflasi meningkat walau pun sektor rill bergerak dan membuka banyak lapangan kerja. Sementara BI bilang harusnya pemerintah yang pinter-pinter menggerakkan sektor rill tanpa harus melalui media penurunan suku bunga. Ini gimana sih, Mas? Mas ngerti ekonomi kan?”
Oh God, why is this happening to me again? Hehehehe..
Saya menjelaskan kepada dia, sepengetahuan saya, negara kita ini sejak tahun 1999 memutuskan untuk memberikan independensi kepada Bank Sentral, yakni Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter, yang berarti BI dapat mengambil keputusan secara independen lepas dari tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, pemerintah adalah sektor yang bertugas untuk menguasai area fiskal, atau sektor riil deh kalo istilah keren-nya. Jadi, untuk penyediaan lapangan pekerjaan, ya itu menjadi tugasnya dari area fiskal, yang berarti tanggung jawabnya pemerintah.
Nah, masalahnya banyak analis ekonomi berpendapat bahwa penentuan suku bunga dari BI itulah yang cukup berperan untuk menggerakkan sektor fiskal. Namun, di satu sisi, BI juga harus waspada untuk menaik-turunkan suku bunga agar tidak terjadi inflasi. Bila kembali melihat kepada tugas BI sesuai dengan UU No. 3 tahun 2004, single task BI hanyalah mengenai masalah inflasi yang diwujudkan melalui penatausahaan sistem moneter, pengawasan bank dan sistem pembayaran, jadi BI tidak bertanggung jawab untuk mengurangi tingkat pengangguran. Berbeda halnya dengan UU No. 13 tahun 1968, ketika itu BI memang memiliki tanggung jawab untuk mengentaskan pengangguran melalui penyediaan lapangan kerja yang sebesar-besarnya (maksudnya apa pada disuruh KKN untuk kerja di BI ya? Hehehe).
But anyway, at the same time, saya melihat artikel di Majalah Time (15 Agustus 2010, ditulis oleh Michael Grunwald) dengan judul, “Why Bernanke Isn’t Doing More to Boost the Economy?” Diterangkan bahwa, “Bernanke honestly believed that unemployment was the nation’s most serious economic problem, but he didn’t plan to do anything about it. Bernanke fears the potential benefits of more monetary stimulus would be modest and uncertain, while the potential risks would be dramatic and real. He’s obviously not a do-nothing chairman. 9 months ago, he clearly believed that doing nothing was his least awful option, and he still seems to fell that way.”
Setelah melihat artikel tersebut, saya lega, karena bisa memberi penjelasan kepada sepupu saya, bahwa problem bentrokan antara sektor fiskal dan moneter dalam penyediaan lapangan kerja (dan juga bisa menular kepada hal-hal lain, tidak terbatas pada penyediaan lapangan kerja semata) tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di negara superpower seperti Amerika. Tapi kelegaan saya langsung pupus, begitu dia meminta opini saya, “Jadi, menurut Mas, harusnya BI itu bertanggung jawab nggak untuk memastikan tersedianya lapangan pekerjaan melalui strategi penetapan suku bunga moneternya?”
Alih-alih salah menjawab, maka saya tawarkan opsi yang cukup negotiable dalam hal ini, “Yang penting adalah koordinasi antara pemerintah dan BI dalam setiap keputusan yang akan mereka ambil dalam penatausahaan ekonomi nasional!”
Sepupu saya manggut-manggut tanda setuju.
Sementara saya yang langsung khawatir kali-kali kalau pertanyaan dia lanjutkan, “Bukannya di negara kita itu koordinasi adalah barang langka, selangka koleksi-koleksi di Museum De Louvre Paris?” Soalnya saya udah nggak punya stok jawaban lagi kalau pertanyaannya menuju ke arah situ.
Untungnya dia tidak bertanya lebih lanjut..
Alhamdullilah deh.. :)
Dan, dalam satu kesempatan karena mungkin dia begitu jengkel dengan nasibnya, pada saat membaca koran, langsung lah dia berujar, “Indonesia ini gimana sih? Saling nyalah2in mulu kerjaannya! Pemerintah bilang kalo BI meningkatkan suku bunga, katanya meredam inflasi namun mempersulit sektor riil dan mempersulit tersedianya lapangan kerja, tapi kalo suku bunga diturunin, inflasi meningkat walau pun sektor rill bergerak dan membuka banyak lapangan kerja. Sementara BI bilang harusnya pemerintah yang pinter-pinter menggerakkan sektor rill tanpa harus melalui media penurunan suku bunga. Ini gimana sih, Mas? Mas ngerti ekonomi kan?”
Oh God, why is this happening to me again? Hehehehe..
Saya menjelaskan kepada dia, sepengetahuan saya, negara kita ini sejak tahun 1999 memutuskan untuk memberikan independensi kepada Bank Sentral, yakni Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter, yang berarti BI dapat mengambil keputusan secara independen lepas dari tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, pemerintah adalah sektor yang bertugas untuk menguasai area fiskal, atau sektor riil deh kalo istilah keren-nya. Jadi, untuk penyediaan lapangan pekerjaan, ya itu menjadi tugasnya dari area fiskal, yang berarti tanggung jawabnya pemerintah.
Nah, masalahnya banyak analis ekonomi berpendapat bahwa penentuan suku bunga dari BI itulah yang cukup berperan untuk menggerakkan sektor fiskal. Namun, di satu sisi, BI juga harus waspada untuk menaik-turunkan suku bunga agar tidak terjadi inflasi. Bila kembali melihat kepada tugas BI sesuai dengan UU No. 3 tahun 2004, single task BI hanyalah mengenai masalah inflasi yang diwujudkan melalui penatausahaan sistem moneter, pengawasan bank dan sistem pembayaran, jadi BI tidak bertanggung jawab untuk mengurangi tingkat pengangguran. Berbeda halnya dengan UU No. 13 tahun 1968, ketika itu BI memang memiliki tanggung jawab untuk mengentaskan pengangguran melalui penyediaan lapangan kerja yang sebesar-besarnya (maksudnya apa pada disuruh KKN untuk kerja di BI ya? Hehehe).
But anyway, at the same time, saya melihat artikel di Majalah Time (15 Agustus 2010, ditulis oleh Michael Grunwald) dengan judul, “Why Bernanke Isn’t Doing More to Boost the Economy?” Diterangkan bahwa, “Bernanke honestly believed that unemployment was the nation’s most serious economic problem, but he didn’t plan to do anything about it. Bernanke fears the potential benefits of more monetary stimulus would be modest and uncertain, while the potential risks would be dramatic and real. He’s obviously not a do-nothing chairman. 9 months ago, he clearly believed that doing nothing was his least awful option, and he still seems to fell that way.”
Setelah melihat artikel tersebut, saya lega, karena bisa memberi penjelasan kepada sepupu saya, bahwa problem bentrokan antara sektor fiskal dan moneter dalam penyediaan lapangan kerja (dan juga bisa menular kepada hal-hal lain, tidak terbatas pada penyediaan lapangan kerja semata) tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di negara superpower seperti Amerika. Tapi kelegaan saya langsung pupus, begitu dia meminta opini saya, “Jadi, menurut Mas, harusnya BI itu bertanggung jawab nggak untuk memastikan tersedianya lapangan pekerjaan melalui strategi penetapan suku bunga moneternya?”
Alih-alih salah menjawab, maka saya tawarkan opsi yang cukup negotiable dalam hal ini, “Yang penting adalah koordinasi antara pemerintah dan BI dalam setiap keputusan yang akan mereka ambil dalam penatausahaan ekonomi nasional!”
Sepupu saya manggut-manggut tanda setuju.
Sementara saya yang langsung khawatir kali-kali kalau pertanyaan dia lanjutkan, “Bukannya di negara kita itu koordinasi adalah barang langka, selangka koleksi-koleksi di Museum De Louvre Paris?” Soalnya saya udah nggak punya stok jawaban lagi kalau pertanyaannya menuju ke arah situ.
Untungnya dia tidak bertanya lebih lanjut..
Alhamdullilah deh.. :)
Langganan:
Postingan (Atom)
About me..
- The Heart is A Lonely Hunter
- I've been passing time watching trains go by.. All of my life, lying on the sand watching seabirds fly.. wishing there would be, someone's waiting home for me..