Dokter gigi saya, dalam setiap kunjungan saya selalu bertanya, “Sebenarnya menurut you negara kita itu pantes nggak untuk mulai ber-redenominasi?” Atau pertanyaan salah satu kerabat saya, “Redenominasi itu apa emang sengaja dihembuskan biar orang pada lupa sama kasus Century ya?" Saya sempet bengong dengan analisisnya yang kok jauh bener, walo sempet ragu, jangan-jangan iya ya, soalnya begitu masalah redenominasi mengemuka, langsung deh masalah Century ‘terlupakan’. Teman saya bahkan lebih ekstrim lagi, “BI itu udah kurang kerjaan banget ya pake ngusulin Redenominasi segala? Udah deh, daripada begitu, mending orang-orang BI itu disuruh bantuin gue aja di kantor. Kerjaan gue banyak nih.”
Sedemikian takutnya publik terhadap redenominasi. Kalau saja redenominasi ini dijadikan film horror/thriller, rasanya film-film Stephen King lewat dah..

Namun, pengalaman buruk yang dialami oleh Indonesia memang membawa kesan tersendiri bagi beberapa generasi lama (yang umumnya lahir sebelum atau dalam kurun waktu 1 s.d 5 tahun setelah kemerdekaan Indonesia). Ambil saja contoh Dokter Gigi saya yang umurnya seangkatan Ibu saya kembali mengenang masa-masa tahun 1960-an, “Apa jangan-jangan redenominasi itu hanya untuk menyamarkan ‘sanering’ seperti tahun 1960 ya? Waktu itu uang dipotong, menjadi tidak bernilai, sementara harga barang-barang tidak berubah (misalnya sepaket McD tetap berharga Rp20.000, sementara uang yang Anda miliki dari Rp20.000 dipotong nilainya menjadi Rp20, sehingga daya beli masyarakat menurun).” Saya meyakinkannya berulang kali bahwa konsep redenominasi bukan seperti itu. Harga barang dan nilai uang sama-sama dipangkas nominal nilainya. Ini hanya masalah nominal saja, bukan masalah nilai barang itu sendiri.
Yang semula saya tidak terlalu perduli dengan urusan redenominasi ini, akhirnya saja jadi menerabas ke beberapa koleksi jurnal dan penelitian ilmiah dalam bidang ekonomi untuk kategori currency values and redenomination. Dari jurnal tersebut diketahui, bahwa beberapa negara yang berencana meredenominasi mata uangnya ini rata-rata membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk finalisasi kebijakannya. Dan, negara-negara yang melakukannya, ya, negara-negara dengan mata uang yang tidak terapresiasi secara internasional (istilahnya, mata uang negaranya nggak diminati atau nggak banyak fans-nya, hehehe, bukan kayak USD, GBP atau Euro yang fans-nya berjibun tersebar di muka bumi ini). Hasil penelitian membuktikan, ada negara yang sukses beredenominasi, dan ada juga yang gagal.
Kegagalan tersebut terutama sekali disebabkan karena ketidakpercayaan warga negara kepada negara/pemerintah yang meredenominasi mata uangnya. Di Rusia misalnya, publik merasa pemerintah seperti merampok kekayaan rakyat dengan meredenominasi mata uangnya, sehingga setelah diredenominasi, inflasi pun tetap tinggi di negara itu. Hal serupa juga terjadi di Zimbabwe, Argentina dan Brasil. Korea Utara justru lebih tragis lagi dengan proyek redenominasinya, karena ternyata warga tidak bisa menukarkan stok uang Won (mata uang Korea Utara) lama menjadi Won baru yang telah disederhanakan digit-nya karena berbagai alasan yang tampaknya ‘disengaja’ oleh pemerintah untuk mengatasi inflasi (dengan cara otoriteristik yang cukup memaksa).

Dalam pemikiran yang tulus, saya percaya niat baik pemerintah dalam redenominasi ini adalah untuk membuat posisi mata uang kita lebih bergengsi di mata dunia (sekaligus menghemat tenaga kasir di Bank mau pun di BI untuk menghitung lembaran-lembaran uang Rupiah kita, barangkali, hehehehe). Alangkah indahnya bila nilai USD1 = Rp9 misalnya dan bukan Rp9000. Namun, perlu dicermati juga bahwa permasalahan ini tidak akan selesai begitu saja bila dihadapkan pada satu benda penting bernama ‘ketidakpercayaan’. Ketidakpercayaan publik terhadap kinerja pemerintah akan dapat melonjakkan inflasi (kenaikan harga barang karena kelangkaan stok di pasar akibat paranoia publik dalam perilaku pembelanjaannya), dan bukan tidak mungkin, hasil dari redenominasi yang memangkas tiga digit, justru malah akan menimbulkan tiga digit baru (balik ke posisi semula) dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama dan tidak terduga sebelumnya.
There can be miracles, when you believe..
The question is, do you believe?
Ask about this to yourself, not to Mariah Carey or Withney Houston.. :P
Salam..