I’m free to create a new term. It’s a free country, isn’t it? :P
Let us start with the definition. Economy is a study which subject to the behaviour of a human creatures to fullfill their needs by a scarcity of resources, while contagious is a tendency to spread anything from one person to another..
And the combination of them? It’s called.. CONTAGIONOMICS!
It all begun with the biggest change in my life. From a single guy, who always thought about three things (myself, myself.. and myself only.. ;P), and suddenly right now those three things change into myself, my wife (can I say Wives? Hey Honey, don’t look at me like that! :P) and my kids (or the future ones), and we’re all living in a our own new-small-and-far-from-big-but-it-is-OK home. And, such change creates a very biggest problem in finding the most precious treasure on earth..
THE FULLY HOUSE MAID!
And, what does it have to do with Contagionomics?
Well, please look at these two cases:
1st case:
In honoring the theory of recommendation, I contacted my mom’s maid (let’s call her.. Mbak). Mbak has been working to us for 7 years. She directly contacted her nephew of 17 Years old in Salatiga (a small town in Central Java) and asked her to work for me. Then, her nephew rejected our offer. She just wants to be a worker in a factory around her neighborhood. We had a chance to argue her by phone. We offered her a salary of RpX (sorry, I really have to keep this in a secret, in order to keep my bargaining power.. ;p) by realizing that the factory offer her of 1.3 times than RpX. But, we also revealed such facts that she doesn’t need to spend money for her own meal and the other groceries needs, not to mention that we will cover her medical expenses, fully. In a short, we offered many things that she has to fulfill by her own should she choose to work in factory. At the end, I ended my argumentation by a conclusion that we offer greater NET annual income than the factory does. So, what did she say?
“I just wanted to work in a factory even I know that job can’t offer the things as good as you’ve offered. But, I need to work around my hometown, like most of my friend. And, I still need to socialize with them, to keep up date with them, and also I just want to have a job like them who works from 9 to 5, the working hours that I’M DEFINETLY SURE you can offer to me should I accept the job as your fully house maid..”
Girl, I’m sorry to tell you that you’ve been the victim of ‘Contagionomics’. Please blame your ‘contagious’ friend.. ;P
2nd case:
Failing in persuading her nephew, Mbak moved into someone else. Still, around her hometown. And, she got a candidate, her relatives, a woman of 18 years old. At the first time, she said yes to our offer. We smiled, but later on the smile didn’t last long when she contacted us two days after, “I’m going to Jeddah and will have a job as TKI (TKI is a term of Indonesian Expatriate who operates in a third or fourth class job there)”. To my surprise, I also argued her stands with the Spirit of 45! I told her that the risk of working there is big, not to mention it is also far away from her homeland. You know what she said? “You have to face the risk to have big return, Sir.. High risk, high return..” Was she trying to mock me? I didn’t care. I didn’t stop until that. I also argued that even the salary offered is big around there, I told her the fact that life economic index will reduce her salary and she has just nothing much to be saved for building her life in her hometown for the future. Did she give up to me? No! In fact, she continued:
“My neighbor works there too. She said, she just could save around 50% of her annual salary, but she can afford to build a nice house and owning two motorcycles for her brothers. I’ve been told by her that the value of our currency is weak, therefore you have to work more than 10 years in Indonesia to have a house and the other assets you dream about. But, working as TKI gives you a benefit of saving by using that currency advantages. Not more than 2-3 years, you can have such things, and after that, is up to me, will I continue my adventure there, or should I stop and come back to Indonesia? Oh, by the way, Sir, the life index in Arabia is not as big as you described. Big Mac is only USD2, and I got the net monthly salary of USD700. If I’m working in Indonesia, how much will I have as a starter? I’ll bet it will be not more than Rp700.000 a month, and the Big Mac is around Rp20.000 here. So, will you say yes to the salary of 35 Big Mac and say no to the salary of 350 Big Mac? I don’t think so… (note: Read this by imagining Mac Culkin said it in ‘Home Alone 1’).”
This girl, she doesn’t need to go to Harvard or Oxford to tell me about the concept of high risk high return or Big Mac Index or Currency Economics. All she needs to do is listening to her ‘contagious’ friend and follow her in return. And, here comes the 2nd victim of Contagionomics.. ;P
I haven’t got any fully house maid yet, and still doing every house hold works by our own (off course, my wife is also with me, for better or worse ;P). Any help that you can offer? Anyone?
All of sudden, I remembered, when I was accepted to work in this institution, my relatives said, “It’s a good place, I envy you.” I just smiled and said, “You can’t say anything now. Let’s take a look for the next three years or more.” So, after those longing years, my relatives looked at myself. They looked at my achievement in having such assets (the ethical codes suggested me not to reveal truthfully about those assets in details here.. sorry.. :P), and said, “Mas, how could we apply to your office? Do our Bachelor Subjects suit with your office’s requirement? I want to work in your institution. Please tell us and give any directions of how we should do that.”
My oh my, I’ve just realized that I’m the agent of ‘Contagionomics’ too..
You can run.. but you can’t hide..
;P
Rabu, 23 Juni 2010
Kamis, 17 Juni 2010
Kesan Pertama Begitu Menggoda.. Selanjutnya?
Kesan pertama? Maksudnya?
Ide tentang OJK ini pertama kali muncul di era pemerintahan BJ Habibie, yang ketika itu memberikan status independen kepada Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral Indonesia, sesuai dengan ide konsultan ekonomi yang disewa beliau dari Jerman pada saat itu. Ide ini juga memberikan konsekuensi untuk memangkas kewenangan BI di dalam melakukan fungsi pengawasan perbankan untuk diberikan kepada OJK, dengan maksud agar BI lebih independen dalam bergerak di sektor moneter tanpa dipengaruhi oleh hal-hal subyektif yang mungkin muncul dari aktivitas pengawasan perbankan. Singkat kata, OJK adalah gagasan untuk menciptakan pengawasan bank dengan kondisi yang mendekati ideal.
Hmm.. bukankah kesan pertama dari OJK itu terasa begitu menggoda?
Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini perbankan berkembang menjadi suatu bisnis yang terkadang cukup sulit untuk dipisahkan dengan bisnis keuangan non-perbankan lainnya. Suatu Bank bisa saja memasarkan produk Asuransi yang disisipkan melalui produk perbankan (bancassurance), sekaligus memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang sekuritas/investasi. Beberapa pihak berpendapat bahwa pengawasan bisnis bank oleh BI, pengawasan bisnis sekuritas oleh Bapepam, dan pengawasan bisnis asuransi oleh DJLK (Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan) seharusnya lebih efektif bila dilakukan oleh satu institusi saja dan tidak dilakukan secara terpisah.
Hmm.. bukankah kesan pertama dari OJK itu terasa semakin menggoda?
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah strategi pengawasan perbankan yang seyogyanya dilakukan oleh lembaga lain terpisah dari Bank Sentral tersebut sudah tepat untuk diterapkan di Indonesia?
Skandal Bank Century yang penuh dengan misteri (yang jauh lebih seru bila dibandingkan dengan cerita-cerita misteri versi Agatha Christie) menjadi tudingan dari beberapa pihak (baik yang idealis, utopis, mau pun yang bersifat sarkatis dan oportunis) untuk segera menyingkirkan fungsi pengawasan perbankan dari BI. Mereka beranggapan bahwa fungsi pengawasan perbankan akan lebih obyektif dan dapat dikelola dengan good governance bila dilakukan oleh pihak lain selain bank sentral. Benarkah demikian? Walau frekuensi terjadinya belumlah tergolong signifikan, pemisahan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral kepada FSA (Financial Services Agency, semacam OJK di Jepang) masih menyisakan kasus kebangkrutan Long-Term Credit Bank dan Nippon Credit Bank di Jepang yang di kemudian hari terbukti merekayasa pembukuannya (The Economist, 30 August 2003).
Selain itu, bila mengamati posisi laporan rugi-laba dalam laporan keuangan beberapa bank umum di Indonesia, umumnya porsi pendapatan bank yang berasal dari penanaman di SBI (Sertifikat Bank Indonesia, perangkat finansial yang digunakan untuk fungsi stabilitas moneter) masih memiliki porsi yang equal bahkan lebih besar dari porsi pendapatan yang berasal dari operasional bank itu sendiri (baik dari penyaluran kredit mau pun jasa-jasa perbankan lainnya). Hal ini menunjukkan bahwa kontrol BI secara langsung kepada bank-bank tersebut masih diperlukan agar SBI tidak disalahgunakan oleh bisnis perbankan sebagai perangkat yang profitabel.
Lagipula, berkaca kepada kondisi ekonomi negara kita yang masih memerlukan dana untuk membangun sarana dan prasarana secara merata demi kemakmuran rakyat dan meminimalisasi tingkat kemiskinan nasional, anggaran dana berjumlah besar yang akan digunakan untuk membentuk OJK menjadi suatu issue tersendiri yang patut dicermati melalui analisis cost-benefit dengan berbagai asumsi yang rasional. Sebagai informasi, menurut berita yang dilansir DetikFinance (2 Februari 2010) terdapat wacana bahwa DPR bermaksud untuk mengadakan studi banding ke luar negeri demi mempelajari hal-ikhwal OJK ini dalam kurun waktu kurang lebih selama 3 (tiga) bulan. Mudah-mudahan proyek studi banding OJK yang direncanakan ini benar-benar berbeda dengan proyek Phileas Fogg dalam novel Jules Verne, “Around the World in 80 Days”.
Jadi, setelah membaca beberapa kritisasi mengenai OJK yang telah uraikan dalam tulisan ini, apakah sebaiknya langkah pembentukan OJK di Indonesia tetap dilakukan? Ataukah sebaiknya dihentikan dan mengubah/mengamandemen Undang-Undang (UU) yang berlaku (UU BI No. 3 tahun 2004, yang mengamanatkan pembentukan OJK selambat-lambatnya pada akhir tahun 2010)?
Menurut pendapat saya pribadi, bagaimana pun juga ide pemisahan fungsi pengawasan tersebut cukup ideal dan menarik untuk dilakukan. Kita tidak akan pernah bisa menerka mengenai keandalan ide tersebut tanpa pernah mencobanya. Saya adalah termasuk segelintir pribadi yang ingin melakukan eksperimen untuk mencoba sistem pengawasan perbankan di bawah OJK, termasuk juga untuk memuaskan rasa dahaga berbagai kritikus BI yang berulang kali (melebihi frekuensi adzan sholat lima waktu per hari sepertinya) mengumandangkan kebrobokan pengawasan bank oleh BI (yang tidak sepenuhnya selalu benar).
Tentunya, bila terjadi pemindahan pengawasan bank dari BI kepada OJK, maka terdapat beberapa hal berikut yang harus diperhatikan:
Pertama, OJK tetap harus memberikan kesempatan kepada BI untuk tetap dapat mengakses informasi pengawasan bank agar BI tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai lender of the last resort. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Paul Volker (mantan chairman dari Federal Reserve US), kebijakan moneter tidak dapat dilakukan dengan baik apabila bank sentral kehilangan perannya dalam mengawasi sektor perbankan.
Kedua, Komposisi kepegawaian OJK seyogyanya menyertakan sebagian pegawai BI yang berasal dari sektor pengawasan perbankan sebelumnya. Mengingat bahwa OJK ini pasti akan dipenuhi dengan nuansa politis yang kental, maka BI harus memikirkan kemungkinan untuk melakukan program exit policy yang sangat solutif bagi para karyawannya bila OJK tidak memberikan kesempatan kepada pegawai BI untuk bergabung didalamnya.
Andai toh ternyata OJK tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan, anggaplah kegagalan tersebut sebagai cost dari pelajaran yang sangat berharga (learning by trial and error) untuk kemudian mengembalikan fungsi pengawasan perbankan tersebut kepada BI (dan boleh juga sekali atau dua kali kita mengatakan kepada para penggagas OJK, “See, what have I told you?”).
Kesan pertama memang begitu menggoda, namun selanjutnya tetap terserah Anda..
Salam..
Ide tentang OJK ini pertama kali muncul di era pemerintahan BJ Habibie, yang ketika itu memberikan status independen kepada Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral Indonesia, sesuai dengan ide konsultan ekonomi yang disewa beliau dari Jerman pada saat itu. Ide ini juga memberikan konsekuensi untuk memangkas kewenangan BI di dalam melakukan fungsi pengawasan perbankan untuk diberikan kepada OJK, dengan maksud agar BI lebih independen dalam bergerak di sektor moneter tanpa dipengaruhi oleh hal-hal subyektif yang mungkin muncul dari aktivitas pengawasan perbankan. Singkat kata, OJK adalah gagasan untuk menciptakan pengawasan bank dengan kondisi yang mendekati ideal.
Hmm.. bukankah kesan pertama dari OJK itu terasa begitu menggoda?
Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini perbankan berkembang menjadi suatu bisnis yang terkadang cukup sulit untuk dipisahkan dengan bisnis keuangan non-perbankan lainnya. Suatu Bank bisa saja memasarkan produk Asuransi yang disisipkan melalui produk perbankan (bancassurance), sekaligus memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang sekuritas/investasi. Beberapa pihak berpendapat bahwa pengawasan bisnis bank oleh BI, pengawasan bisnis sekuritas oleh Bapepam, dan pengawasan bisnis asuransi oleh DJLK (Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan) seharusnya lebih efektif bila dilakukan oleh satu institusi saja dan tidak dilakukan secara terpisah.
Hmm.. bukankah kesan pertama dari OJK itu terasa semakin menggoda?
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah strategi pengawasan perbankan yang seyogyanya dilakukan oleh lembaga lain terpisah dari Bank Sentral tersebut sudah tepat untuk diterapkan di Indonesia?
Skandal Bank Century yang penuh dengan misteri (yang jauh lebih seru bila dibandingkan dengan cerita-cerita misteri versi Agatha Christie) menjadi tudingan dari beberapa pihak (baik yang idealis, utopis, mau pun yang bersifat sarkatis dan oportunis) untuk segera menyingkirkan fungsi pengawasan perbankan dari BI. Mereka beranggapan bahwa fungsi pengawasan perbankan akan lebih obyektif dan dapat dikelola dengan good governance bila dilakukan oleh pihak lain selain bank sentral. Benarkah demikian? Walau frekuensi terjadinya belumlah tergolong signifikan, pemisahan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral kepada FSA (Financial Services Agency, semacam OJK di Jepang) masih menyisakan kasus kebangkrutan Long-Term Credit Bank dan Nippon Credit Bank di Jepang yang di kemudian hari terbukti merekayasa pembukuannya (The Economist, 30 August 2003).
Selain itu, bila mengamati posisi laporan rugi-laba dalam laporan keuangan beberapa bank umum di Indonesia, umumnya porsi pendapatan bank yang berasal dari penanaman di SBI (Sertifikat Bank Indonesia, perangkat finansial yang digunakan untuk fungsi stabilitas moneter) masih memiliki porsi yang equal bahkan lebih besar dari porsi pendapatan yang berasal dari operasional bank itu sendiri (baik dari penyaluran kredit mau pun jasa-jasa perbankan lainnya). Hal ini menunjukkan bahwa kontrol BI secara langsung kepada bank-bank tersebut masih diperlukan agar SBI tidak disalahgunakan oleh bisnis perbankan sebagai perangkat yang profitabel.
Lagipula, berkaca kepada kondisi ekonomi negara kita yang masih memerlukan dana untuk membangun sarana dan prasarana secara merata demi kemakmuran rakyat dan meminimalisasi tingkat kemiskinan nasional, anggaran dana berjumlah besar yang akan digunakan untuk membentuk OJK menjadi suatu issue tersendiri yang patut dicermati melalui analisis cost-benefit dengan berbagai asumsi yang rasional. Sebagai informasi, menurut berita yang dilansir DetikFinance (2 Februari 2010) terdapat wacana bahwa DPR bermaksud untuk mengadakan studi banding ke luar negeri demi mempelajari hal-ikhwal OJK ini dalam kurun waktu kurang lebih selama 3 (tiga) bulan. Mudah-mudahan proyek studi banding OJK yang direncanakan ini benar-benar berbeda dengan proyek Phileas Fogg dalam novel Jules Verne, “Around the World in 80 Days”.
Jadi, setelah membaca beberapa kritisasi mengenai OJK yang telah uraikan dalam tulisan ini, apakah sebaiknya langkah pembentukan OJK di Indonesia tetap dilakukan? Ataukah sebaiknya dihentikan dan mengubah/mengamandemen Undang-Undang (UU) yang berlaku (UU BI No. 3 tahun 2004, yang mengamanatkan pembentukan OJK selambat-lambatnya pada akhir tahun 2010)?
Menurut pendapat saya pribadi, bagaimana pun juga ide pemisahan fungsi pengawasan tersebut cukup ideal dan menarik untuk dilakukan. Kita tidak akan pernah bisa menerka mengenai keandalan ide tersebut tanpa pernah mencobanya. Saya adalah termasuk segelintir pribadi yang ingin melakukan eksperimen untuk mencoba sistem pengawasan perbankan di bawah OJK, termasuk juga untuk memuaskan rasa dahaga berbagai kritikus BI yang berulang kali (melebihi frekuensi adzan sholat lima waktu per hari sepertinya) mengumandangkan kebrobokan pengawasan bank oleh BI (yang tidak sepenuhnya selalu benar).
Tentunya, bila terjadi pemindahan pengawasan bank dari BI kepada OJK, maka terdapat beberapa hal berikut yang harus diperhatikan:
Pertama, OJK tetap harus memberikan kesempatan kepada BI untuk tetap dapat mengakses informasi pengawasan bank agar BI tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai lender of the last resort. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Paul Volker (mantan chairman dari Federal Reserve US), kebijakan moneter tidak dapat dilakukan dengan baik apabila bank sentral kehilangan perannya dalam mengawasi sektor perbankan.
Kedua, Komposisi kepegawaian OJK seyogyanya menyertakan sebagian pegawai BI yang berasal dari sektor pengawasan perbankan sebelumnya. Mengingat bahwa OJK ini pasti akan dipenuhi dengan nuansa politis yang kental, maka BI harus memikirkan kemungkinan untuk melakukan program exit policy yang sangat solutif bagi para karyawannya bila OJK tidak memberikan kesempatan kepada pegawai BI untuk bergabung didalamnya.
Andai toh ternyata OJK tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan, anggaplah kegagalan tersebut sebagai cost dari pelajaran yang sangat berharga (learning by trial and error) untuk kemudian mengembalikan fungsi pengawasan perbankan tersebut kepada BI (dan boleh juga sekali atau dua kali kita mengatakan kepada para penggagas OJK, “See, what have I told you?”).
Kesan pertama memang begitu menggoda, namun selanjutnya tetap terserah Anda..
Salam..
Langganan:
Postingan (Atom)
About me..
- The Heart is A Lonely Hunter
- I've been passing time watching trains go by.. All of my life, lying on the sand watching seabirds fly.. wishing there would be, someone's waiting home for me..