Jumat, 17 September 2010

Redenominasi: There can be Miracles, When You Believe..

Lagi-lagi nih, karena bidang pekerjaan saya erat hubungan dengan bidang bisnis, manajemen dan ekonomi, hampir sebagian besar kenalan atau kerabat yang bertemu saya dalam 1 (satu) bulan belakangan ini (termasuk pada saat silaturahmi Lebaran), bertanya kepada saya mengenai istilah horror (saya katakan horror karena mereka bertanya seakan-akan istilah itu merupakan ancaman seperti virus HIV) “Redenominasi”.

Dokter gigi saya, dalam setiap kunjungan saya selalu bertanya, “Sebenarnya menurut you negara kita itu pantes nggak untuk mulai ber-redenominasi?” Atau pertanyaan salah satu kerabat saya, “Redenominasi itu apa emang sengaja dihembuskan biar orang pada lupa sama kasus Century ya?" Saya sempet bengong dengan analisisnya yang kok jauh bener, walo sempet ragu, jangan-jangan iya ya, soalnya begitu masalah redenominasi mengemuka, langsung deh masalah Century ‘terlupakan’. Teman saya bahkan lebih ekstrim lagi, “BI itu udah kurang kerjaan banget ya pake ngusulin Redenominasi segala? Udah deh, daripada begitu, mending orang-orang BI itu disuruh bantuin gue aja di kantor. Kerjaan gue banyak nih.”

Sedemikian takutnya publik terhadap redenominasi. Kalau saja redenominasi ini dijadikan film horror/thriller, rasanya film-film Stephen King lewat dah..

Sesuai dengan informasi yang dipublikasikan oleh BI, redenominasi ini adalah penyederhanaan digit mata uang, yang juga dibarengi oleh penyederhanaan digit harga-harga barang. Jadi misalnya, harga sepaket McDonalds Rp20.000, nanti akan di-redenominasi menjadi Rp20 (tiga nol dibelakangnya dihilangkan), dan BI akan mencetak uang Rp20 sebagai pengganti Rp20.000. Sebenarnya ide ini cukup sederhana dan tidak terdengar menakutkan, karena dimaksudkan agar digit mata uang negara juga kompetitif dibandingkan dengan mata uang asing yang kuat (impresi yang berbeda, harga sepaket McD di US adalah USD5 dan di Indonesia Rp20.000, dengan komparasi bila harga sepaket McD di US adalah USD5 dan di Indonesia Rp20).

Namun, pengalaman buruk yang dialami oleh Indonesia memang membawa kesan tersendiri bagi beberapa generasi lama (yang umumnya lahir sebelum atau dalam kurun waktu 1 s.d 5 tahun setelah kemerdekaan Indonesia). Ambil saja contoh Dokter Gigi saya yang umurnya seangkatan Ibu saya kembali mengenang masa-masa tahun 1960-an, “Apa jangan-jangan redenominasi itu hanya untuk menyamarkan ‘sanering’ seperti tahun 1960 ya? Waktu itu uang dipotong, menjadi tidak bernilai, sementara harga barang-barang tidak berubah (misalnya sepaket McD tetap berharga Rp20.000, sementara uang yang Anda miliki dari Rp20.000 dipotong nilainya menjadi Rp20, sehingga daya beli masyarakat menurun).” Saya meyakinkannya berulang kali bahwa konsep redenominasi bukan seperti itu. Harga barang dan nilai uang sama-sama dipangkas nominal nilainya. Ini hanya masalah nominal saja, bukan masalah nilai barang itu sendiri.

Yang semula saya tidak terlalu perduli dengan urusan redenominasi ini, akhirnya saja jadi menerabas ke beberapa koleksi jurnal dan penelitian ilmiah dalam bidang ekonomi untuk kategori currency values and redenomination. Dari jurnal tersebut diketahui, bahwa beberapa negara yang berencana meredenominasi mata uangnya ini rata-rata membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk finalisasi kebijakannya. Dan, negara-negara yang melakukannya, ya, negara-negara dengan mata uang yang tidak terapresiasi secara internasional (istilahnya, mata uang negaranya nggak diminati atau nggak banyak fans-nya, hehehe, bukan kayak USD, GBP atau Euro yang fans-nya berjibun tersebar di muka bumi ini). Hasil penelitian membuktikan, ada negara yang sukses beredenominasi, dan ada juga yang gagal.

Kegagalan tersebut terutama sekali disebabkan karena ketidakpercayaan warga negara kepada negara/pemerintah yang meredenominasi mata uangnya. Di Rusia misalnya, publik merasa pemerintah seperti merampok kekayaan rakyat dengan meredenominasi mata uangnya, sehingga setelah diredenominasi, inflasi pun tetap tinggi di negara itu. Hal serupa juga terjadi di Zimbabwe, Argentina dan Brasil. Korea Utara justru lebih tragis lagi dengan proyek redenominasinya, karena ternyata warga tidak bisa menukarkan stok uang Won (mata uang Korea Utara) lama menjadi Won baru yang telah disederhanakan digit-nya karena berbagai alasan yang tampaknya ‘disengaja’ oleh pemerintah untuk mengatasi inflasi (dengan cara otoriteristik yang cukup memaksa).

Bagaimana halnya dengan Indonesia? Sepertinya sih, dari reaksi yang saya dapatkan selama ini mengenai redenominasi di negara kita, rasanya kepercayaan publik terhadap pemerintah Indonesia masih nol. Publik masih menganggap bahwa proyek redenominasi ini bukan sekedar menyederhanakan digit mata uang, namun lebih ke arah strategi politik dan ‘membungkus sesuatu’. Sebenarnya agak berbahaya juga untuk melaksanakan redenominasi di tengah-tengah ketidakpercayaan publik. Anda bisa bayangkan? Publik yang panik akan buru-buru menghabiskan uang yang dipegangnya dalam bentuk berbagai barangdan komoditi, sehingga inflasi malah bisa lebih membubung tinggi. Atau misalnya mereka malah menukarkan uang lokal ke mata uang asing, melarikannya ke luar negeri, dan menimbulkan krisis valuta asing kemudian.

Dalam pemikiran yang tulus, saya percaya niat baik pemerintah dalam redenominasi ini adalah untuk membuat posisi mata uang kita lebih bergengsi di mata dunia (sekaligus menghemat tenaga kasir di Bank mau pun di BI untuk menghitung lembaran-lembaran uang Rupiah kita, barangkali, hehehehe). Alangkah indahnya bila nilai USD1 = Rp9 misalnya dan bukan Rp9000. Namun, perlu dicermati juga bahwa permasalahan ini tidak akan selesai begitu saja bila dihadapkan pada satu benda penting bernama ‘ketidakpercayaan’. Ketidakpercayaan publik terhadap kinerja pemerintah akan dapat melonjakkan inflasi (kenaikan harga barang karena kelangkaan stok di pasar akibat paranoia publik dalam perilaku pembelanjaannya), dan bukan tidak mungkin, hasil dari redenominasi yang memangkas tiga digit, justru malah akan menimbulkan tiga digit baru (balik ke posisi semula) dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama dan tidak terduga sebelumnya.

There can be miracles, when you believe..

The question is, do you believe?

Ask about this to yourself, not to Mariah Carey or Withney Houston.. :P

Salam..

Kamis, 02 September 2010

THE IDEAL IS THE IDOL, NOT THE IDLE

Sepupu saya sebenarnya sudah memiliki pekerjaan, namun sepertinya jam kerja shifting (bisa masuk jam 8 pagi, jam 4 sore, atau pun jam 12 malam) dengan tingkat bayaran yang cukup minim dan tanpa mendapatkan tunjangan yang layak (no medical or overtime allowance) membuat dia gerah dan ingin cepat-cepat hengkang dari pekerjaannya. To be honest, apa yang dia kerjakan itu sejujurnya bisa dilakukan oleh lulusan SMA. Namun, hare gene, di saat mencari pekerjaan susahnya bukan main, mau tidak mau, dia harus menerima dulu apa pun yang ada agar tidak terlalu lama menjadi seorang yang idle (tidak punya pekerjaan) walau pun pekerjaan itu terasa under qualification dengan strata S1 yang dimilikinya dan sangat jauh sekali untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang idol.. hehehe.

Dan, dalam satu kesempatan karena mungkin dia begitu jengkel dengan nasibnya, pada saat membaca koran, langsung lah dia berujar, “Indonesia ini gimana sih? Saling nyalah2in mulu kerjaannya! Pemerintah bilang kalo BI meningkatkan suku bunga, katanya meredam inflasi namun mempersulit sektor riil dan mempersulit tersedianya lapangan kerja, tapi kalo suku bunga diturunin, inflasi meningkat walau pun sektor rill bergerak dan membuka banyak lapangan kerja. Sementara BI bilang harusnya pemerintah yang pinter-pinter menggerakkan sektor rill tanpa harus melalui media penurunan suku bunga. Ini gimana sih, Mas? Mas ngerti ekonomi kan?”

Oh God, why is this happening to me again? Hehehehe..

Saya menjelaskan kepada dia, sepengetahuan saya, negara kita ini sejak tahun 1999 memutuskan untuk memberikan independensi kepada Bank Sentral, yakni Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter, yang berarti BI dapat mengambil keputusan secara independen lepas dari tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, pemerintah adalah sektor yang bertugas untuk menguasai area fiskal, atau sektor riil deh kalo istilah keren-nya. Jadi, untuk penyediaan lapangan pekerjaan, ya itu menjadi tugasnya dari area fiskal, yang berarti tanggung jawabnya pemerintah.

Nah, masalahnya banyak analis ekonomi berpendapat bahwa penentuan suku bunga dari BI itulah yang cukup berperan untuk menggerakkan sektor fiskal. Namun, di satu sisi, BI juga harus waspada untuk menaik-turunkan suku bunga agar tidak terjadi inflasi. Bila kembali melihat kepada tugas BI sesuai dengan UU No. 3 tahun 2004, single task BI hanyalah mengenai masalah inflasi yang diwujudkan melalui penatausahaan sistem moneter, pengawasan bank dan sistem pembayaran, jadi BI tidak bertanggung jawab untuk mengurangi tingkat pengangguran. Berbeda halnya dengan UU No. 13 tahun 1968, ketika itu BI memang memiliki tanggung jawab untuk mengentaskan pengangguran melalui penyediaan lapangan kerja yang sebesar-besarnya (maksudnya apa pada disuruh KKN untuk kerja di BI ya? Hehehe).

But anyway, at the same time, saya melihat artikel di Majalah Time (15 Agustus 2010, ditulis oleh Michael Grunwald) dengan judul, “Why Bernanke Isn’t Doing More to Boost the Economy?” Diterangkan bahwa, “Bernanke honestly believed that unemployment was the nation’s most serious economic problem, but he didn’t plan to do anything about it. Bernanke fears the potential benefits of more monetary stimulus would be modest and uncertain, while the potential risks would be dramatic and real. He’s obviously not a do-nothing chairman. 9 months ago, he clearly believed that doing nothing was his least awful option, and he still seems to fell that way.

Setelah melihat artikel tersebut, saya lega, karena bisa memberi penjelasan kepada sepupu saya, bahwa problem bentrokan antara sektor fiskal dan moneter dalam penyediaan lapangan kerja (dan juga bisa menular kepada hal-hal lain, tidak terbatas pada penyediaan lapangan kerja semata) tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di negara superpower seperti Amerika. Tapi kelegaan saya langsung pupus, begitu dia meminta opini saya, “Jadi, menurut Mas, harusnya BI itu bertanggung jawab nggak untuk memastikan tersedianya lapangan pekerjaan melalui strategi penetapan suku bunga moneternya?”

Alih-alih salah menjawab, maka saya tawarkan opsi yang cukup negotiable dalam hal ini, “Yang penting adalah koordinasi antara pemerintah dan BI dalam setiap keputusan yang akan mereka ambil dalam penatausahaan ekonomi nasional!”

Sepupu saya manggut-manggut tanda setuju.

Sementara saya yang langsung khawatir kali-kali kalau pertanyaan dia lanjutkan, “Bukannya di negara kita itu koordinasi adalah barang langka, selangka koleksi-koleksi di Museum De Louvre Paris?” Soalnya saya udah nggak punya stok jawaban lagi kalau pertanyaannya menuju ke arah situ.

Untungnya dia tidak bertanya lebih lanjut..

Alhamdullilah deh.. :)

Selasa, 06 Juli 2010

Kepemilikan Asing di SBI: “The Taming of the Screw”

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah instrumen finansial yang ditujukan untuk menciptakan stabilisasi moneter di Indonesia. Sayangnya, banyak spekulator, terlebih pihak asing, yang menggunakan instrumen tersebut sebagai sarana yang profitabel, dan membeli SBI dimaksud pada harga optimum dengan prinsip profit-taking. BI menyadari kondisi ini disebabkan karena ineksistensi aturan yang membatasi kepemilikan pihak asing pada SBI. Sebagai kelanjutannya, mulai 7 Juli 2010, BI memutuskan untuk mengatur periode kepemilikan investasi di SBI selama minimum 1 bulan, sebelum dapat diperjualbelikan kembali di pasar sekunder. Pengaturan ini diterapkan untuk investor lokal mau pun asing. Dan, reaksi pun bermunculan dari para ekonom yang kurang setuju mengenai kebijakan BI dimaksud, antara lain seperti, “Limitasi 1 bulan tersebut tidak ada gunanya. SBI itu untuk stabilisasi moneter. Jadi seharusnya seluruh kepemilikan asing dilarang dalam bentuk apa pun atas SBI tersebut. Mengapa BI harus takut?” (komentar salah satu Ekonom pada harian Media Indonesia, 20 Juni 2010).

Takut? Benarkah begitu?

Saya punya teman, dan kami telah berteman selama 12 tahun lamanya (untuk para pembaca, you should note bahwa artikel ini bukan mengenai umur kami, so please be focused.. ;P). Saya ingat, ketika saya berusia 14-15 tahun, teman saya ini mengenalkan kepada Billiard. Kami sering berkelana ke beberapa Billiard Pool untuk menjajal kemampuan ber-billiard kami. Tapi ya, karena memang teman saya itu berbakat (dan saya tidak), dia mulai menjajal kemampuannya dengan lebih maksimal. Sayangnya, dia berjudi melalui permainan Billiard itu (berjudi untuk Billiard, dan spekulasi untuk bisnis keuangan, mind your own language.. ;P), karena dia benar-benar mengharapkan bayaran uang dari pihak yang dikalahkannya. Nasehat saya (For God sakes! Dia itu bahkan bukan Tom Cruise atau Paul Newman dalam ‘Colour of the Money’) untuk mengembalikannya ke jalan yang benar hanya berlalu bagai angin semusim.

Lantas, Ayahnya yang tahu mengenai hal ini langsung murka sebesar-besarnya, dan melarang teman saya untuk memiliki ‘hubungan’ apa pun dengan permainan yang bernama Billiard tersebut. Uang jajannya dipotong, dan ‘pengamanan’ ditingkatkan agar teman saya itu ‘menghapus’ Billiard dari otaknya. Berhasilkah cara itu? Nyatanya, justru teman saya itu malah makin menggila. Dia berbohong kepada ayahnya, berjudi melalui Billiard dengan intensitas yang lebih parah dari sebelumnya. Drama ini benar-benar mencapai puncaknya ketika pihak sekolah kami menangkap basah dirinya, meninggalkan rasa malu yang teramat besar bagi si Ayahnya.

Setelah kejadian itu, ayahnya mulai melunak. Ayahnya tetap memberikan kesempatan dia untuk bermain Billiard secara benar, tidak melarangnya berjudi secara terang-terangan, namun mengurangi porsi berjudinya, hingga akhirnya teman saya itu benar-benar merasakan kepuasan bermain Billiard tanpa berjudi (ayahnya sempat mengikutsertakan teman saya itu di Kompetisi Billiard Amatir). Secara bertahap, harus saya akui bahwa cara ini berhasil. Terakhir yang saya ketahui, teman saya itu tidak ketagihan lagi berjudi dalam permainan Billiard (tidak ketagihan, bukan berarti tidak sama sekali, tapi setidaknya jauh lebih baik dari kondisi sebelumnya).

Sebagaimana menjinakkan perilaku berjudi teman saya di atas, maka menjinakkan perilaku spekulator keuangan pun juga harus dilakukan dengan cara yang strategis. Perlu terdapat upaya untuk menghindari aksi para spekulator pada ‘lapangan’ lainnya yang dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap inflasi, terutama bila mengacaukan (screw) ketersediaan cadangan devisa. Dengan demikian, kebijakan untuk ‘menahan kepemilikan SBI minimum 1 bulan’ ini sepertinya masih layak untuk dicoba. Apalagi mengingat bahwa kondisi makroekonomi Indonesia juga tidak begitu menggembirakan, seperti tingkat inflasi tengah tahun (5,05% di Juni 2010, dengan target tahunan 5,7%), kemungkinan kenaikan harga akibat kebijakan pemerintah yang menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL), dan kelanjutan musim siklikal seperti Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru, serta Tahun Ajaran Baru di bulan Juni dan Juli 2010.

Menurut inilah.com (16 Juni 2010), BI masih yakin bahwa berdasarkan perspektif ekonomi yang luas, peran dana asing dalam SBI belum memiliki pengaruh yang signifikan dalam fundamental ekonomi, dan juga diduga tidak akan mengganggu kebijakan makroekonomi yang ada. Terdapat banyak fakta bahwa kondisi makroekonomi masih dipengaruhi (namun tidak terbatas) oleh harga dari energi dasar seperti BBM bersubsidi, tarif air dan listrik. Penempatan dana asing di SBI tersebut diindikasikan berpengaruh terhadap investment grading Indonesia. Dan, berdasarkan pengukuran di bulan Juni 2010, penempatan dana asing di SBI adalah sekitar Rp33 Triliun, dari jumlah keseluruhan dana di SBI sebesar Rp270 Triliun (sekitar 12,22%).

Bila Shakespeare sang pujangga Inggris terkenal itu mewujudkan ekspresi melalui lakon karyanya yang berjudul “Taming of the Shrew”, maka BI pun juga dapat mewujudkan ekspresinya melalui “Taming of the Screw” dalam pengaturan operasionalisasi SBI untuk saat ini.. ;P

PS: To my old friend, pengen juga main Billiard bareng lagi, but please don’t laugh at my skill now, since those golden years have passed me by.. ;P


(The English Version)

Foreign Funds in BI-Bills: “The Taming of the Screw”

Certainly, Bank Indonesia (BI) Bills (BI-Bills or SBI) is the financial instrument which intended to regulate the stability of monetary system in Indonesia. On the other hand, the speculators, especially the foreigners, utilize that instrument to fulfill its profitability requirement, and obtain such instrument from any secondary market whenever they feel it can provide them a fine return with the optimum purchasing price. BI has fully realized this condition was originated from inexistence of regulation regarding such limitation for the foreigner speculators who want to obtain BI-Bills. And as the final result, starting from the date of 7 July 2010, BI has decided to set the period for the investors to hold their investment of BI-Bills for minimum of 1 month, before it can be secondary marketed again. This regulation is applied to all investors, both local and foreign. Thus, there were many Economists who said negatively about this circumstance, as stated by one among of those opinions, “The holding period of one month is useless. BI-Bills should be the instrument to regulate national monetary system, and as a result, BI should FORBID all foreign funds employ themselves in such instrument. Why must BI be terrified of that?” (taken from Media Indonesia-The Daily Newspaper, 20 Juni 2010).

Terrified? Is it really like that?

I have a friend, and he has been my friend since we were 12 years old (to all readers, you should note that this article is not about our age, so please be focused.. ;p). I remembered, when we were around 14-15 years old, he introduced me to the game of Billiard. We always tried our skill from one pool house into another. But, since he was really talented in such skill, he began to explore about it more than I've ever imagined. He began to be the gambler (gambler for snooker, and speculator for financial businessman, minding your own language.. ;P) since he played that game in the motivation of acquiring the money from the losers. I didn't follow him, off course, only advising him for not doing that (for God sakes! I told him that he was not even a Tom Cruise nor Paul Newman in 'Colour of The Money'). Also, it was useless since he ignored my advise completely.

Then, when his father knew about this, the normal reaction from him was getting angry and forbade my friend to play anything to do with billiard! His father did cut his allowance and created so many limitations that eliminated his chance to play any game related to Billiard. Was it useful? In fact, my friend was getting more mad. He lied to his father, playing hide and seek with him, and being the gambler more badly than before. It ended when he has been caught by the school authority, and it left a big embarrassment to his father.

After that incident, I knew that his father treated him in a proper way. He gave him a chance to play billiard in a proper way, and didn't forbid him to gamble, but just decreasing the portion of such gambling, until at last he could find the satisfaction of playing the game of billiard without any gambling motivation (his father also encouraged my friend to got involve in a snooker competition). Step by step, and I must tell you that it worked out. The last time I know, he was not addicted to snooker gambling anymore (not addicted, doesn't mean that it was eliminated, but it's more than fine compare to his condition before).

As taming my friend's habit in gambling above, taming a speculators should be done also in a strategic way. There has to be an avoidance of any unpredictable actions from those foreign speculators in another field and fetch the worst impact on the inflation rates, especially when it comes to screw the foreign exchange reserves surprisingly. Therefore, keeping the chance for the foreign speculators to locate their funds (even just for one month) is still the worth possibility to try. Not to mention that fiscal macroeconomics condition is not in a pleasant way, such as mid year inflation rate (5,05 persen on June 2010, with the yearly targeting of 5,7 persen), the possibility of any additional price increasing based on the government policy to set the higher basic electricity tarrifs (TDL), and the continuance of high inflation based on the cyclical seasons from Idul Fitri (region festive for Muslims), Christmas and New Year, and also the beginning year of the school program on June and July 2010.

According to inilah.com (June 16, 2010), BI also still has a confidence that based on the wide economics perspective, the role of foreign funds in BI-Bills does not have a significant impact to the fundamental of economics, and thus it won’t distort any macroeconomics policy. There are so many facts that the macroeconomics in Indonesia is persuaded by the price of such basic energy such as subsidized fuel, water and electricity, and not by the flow of the funds from the speculators. The foreign funds in BI Bills is indicated to have influence on investment grading of Indonesia, which not absolutely have a significant correlation with the prospect or current result of such investments. Based on the measurement to the month of June 2010, the foreign funds in BI-Bills was just about IDR 33 Trillion from the total sum amount of IDR 270 Trillion (around 12,22%).

Should Shakespeare, the famous British Literature Writer expressed himself in his play “Taming of The Shrew”, then BI could express itself with 'Taming of The Screw' in the business of the BI-bills for a time being.. ;P

PS: To my dearest friend, I'd really want to play billiard again with you sometimes, but please don’t laugh at my skill now, since those golden years have passed me by.. :P

Rabu, 23 Juni 2010

Contagionomics and Its Implication to the House Maids (a case study) ;)

I’m free to create a new term. It’s a free country, isn’t it? :P

Let us start with the definition. Economy is a study which subject to the behaviour of a human creatures to fullfill their needs by a scarcity of resources, while contagious is a tendency to spread anything from one person to another..

And the combination of them? It’s called.. CONTAGIONOMICS!

It all begun with the biggest change in my life. From a single guy, who always thought about three things (myself, myself.. and myself only.. ;P), and suddenly right now those three things change into myself, my wife (can I say Wives? Hey Honey, don’t look at me like that! :P) and my kids (or the future ones), and we’re all living in a our own new-small-and-far-from-big-but-it-is-OK home. And, such change creates a very biggest problem in finding the most precious treasure on earth..

THE FULLY HOUSE MAID!

And, what does it have to do with Contagionomics?

Well, please look at these two cases:

1st case:

In honoring the theory of recommendation, I contacted my mom’s maid (let’s call her.. Mbak). Mbak has been working to us for 7 years. She directly contacted her nephew of 17 Years old in Salatiga (a small town in Central Java) and asked her to work for me. Then, her nephew rejected our offer. She just wants to be a worker in a factory around her neighborhood. We had a chance to argue her by phone. We offered her a salary of RpX (sorry, I really have to keep this in a secret, in order to keep my bargaining power.. ;p) by realizing that the factory offer her of 1.3 times than RpX. But, we also revealed such facts that she doesn’t need to spend money for her own meal and the other groceries needs, not to mention that we will cover her medical expenses, fully. In a short, we offered many things that she has to fulfill by her own should she choose to work in factory. At the end, I ended my argumentation by a conclusion that we offer greater NET annual income than the factory does. So, what did she say?

“I just wanted to work in a factory even I know that job can’t offer the things as good as you’ve offered. But, I need to work around my hometown, like most of my friend. And, I still need to socialize with them, to keep up date with them, and also I just want to have a job like them who works from 9 to 5, the working hours that I’M DEFINETLY SURE you can offer to me should I accept the job as your fully house maid..”

Girl, I’m sorry to tell you that you’ve been the victim of ‘Contagionomics’. Please blame your ‘contagious’ friend.. ;P

2nd case:

Failing in persuading her nephew, Mbak moved into someone else. Still, around her hometown. And, she got a candidate, her relatives, a woman of 18 years old. At the first time, she said yes to our offer. We smiled, but later on the smile didn’t last long when she contacted us two days after, “I’m going to Jeddah and will have a job as TKI (TKI is a term of Indonesian Expatriate who operates in a third or fourth class job there)”. To my surprise, I also argued her stands with the Spirit of 45! I told her that the risk of working there is big, not to mention it is also far away from her homeland. You know what she said? “You have to face the risk to have big return, Sir.. High risk, high return..” Was she trying to mock me? I didn’t care. I didn’t stop until that. I also argued that even the salary offered is big around there, I told her the fact that life economic index will reduce her salary and she has just nothing much to be saved for building her life in her hometown for the future. Did she give up to me? No! In fact, she continued:

“My neighbor works there too. She said, she just could save around 50% of her annual salary, but she can afford to build a nice house and owning two motorcycles for her brothers. I’ve been told by her that the value of our currency is weak, therefore you have to work more than 10 years in Indonesia to have a house and the other assets you dream about. But, working as TKI gives you a benefit of saving by using that currency advantages. Not more than 2-3 years, you can have such things, and after that, is up to me, will I continue my adventure there, or should I stop and come back to Indonesia? Oh, by the way, Sir, the life index in Arabia is not as big as you described. Big Mac is only USD2, and I got the net monthly salary of USD700. If I’m working in Indonesia, how much will I have as a starter? I’ll bet it will be not more than Rp700.000 a month, and the Big Mac is around Rp20.000 here. So, will you say yes to the salary of 35 Big Mac and say no to the salary of 350 Big Mac? I don’t think so… (note: Read this by imagining Mac Culkin said it in ‘Home Alone 1’).”

This girl, she doesn’t need to go to Harvard or Oxford to tell me about the concept of high risk high return or Big Mac Index or Currency Economics. All she needs to do is listening to her ‘contagious’ friend and follow her in return. And, here comes the 2nd victim of Contagionomics.. ;P

I haven’t got any fully house maid yet, and still doing every house hold works by our own (off course, my wife is also with me, for better or worse ;P). Any help that you can offer? Anyone?

All of sudden, I remembered, when I was accepted to work in this institution, my relatives said, “It’s a good place, I envy you.” I just smiled and said, “You can’t say anything now. Let’s take a look for the next three years or more.” So, after those longing years, my relatives looked at myself. They looked at my achievement in having such assets (the ethical codes suggested me not to reveal truthfully about those assets in details here.. sorry.. :P), and said, “Mas, how could we apply to your office? Do our Bachelor Subjects suit with your office’s requirement? I want to work in your institution. Please tell us and give any directions of how we should do that.”

My oh my, I’ve just realized that I’m the agent of ‘Contagionomics’ too..

You can run.. but you can’t hide..

;P

Kamis, 17 Juni 2010

Kesan Pertama Begitu Menggoda.. Selanjutnya?

Kesan pertama? Maksudnya?

Ide tentang OJK ini pertama kali muncul di era pemerintahan BJ Habibie, yang ketika itu memberikan status independen kepada Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral Indonesia, sesuai dengan ide konsultan ekonomi yang disewa beliau dari Jerman pada saat itu. Ide ini juga memberikan konsekuensi untuk memangkas kewenangan BI di dalam melakukan fungsi pengawasan perbankan untuk diberikan kepada OJK, dengan maksud agar BI lebih independen dalam bergerak di sektor moneter tanpa dipengaruhi oleh hal-hal subyektif yang mungkin muncul dari aktivitas pengawasan perbankan. Singkat kata, OJK adalah gagasan untuk menciptakan pengawasan bank dengan kondisi yang mendekati ideal.

Hmm.. bukankah kesan pertama dari OJK itu terasa begitu menggoda?

Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini perbankan berkembang menjadi suatu bisnis yang terkadang cukup sulit untuk dipisahkan dengan bisnis keuangan non-perbankan lainnya. Suatu Bank bisa saja memasarkan produk Asuransi yang disisipkan melalui produk perbankan (bancassurance), sekaligus memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang sekuritas/investasi. Beberapa pihak berpendapat bahwa pengawasan bisnis bank oleh BI, pengawasan bisnis sekuritas oleh Bapepam, dan pengawasan bisnis asuransi oleh DJLK (Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan) seharusnya lebih efektif bila dilakukan oleh satu institusi saja dan tidak dilakukan secara terpisah.

Hmm.. bukankah kesan pertama dari OJK itu terasa semakin menggoda?

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah strategi pengawasan perbankan yang seyogyanya dilakukan oleh lembaga lain terpisah dari Bank Sentral tersebut sudah tepat untuk diterapkan di Indonesia?

Skandal Bank Century yang penuh dengan misteri (yang jauh lebih seru bila dibandingkan dengan cerita-cerita misteri versi Agatha Christie) menjadi tudingan dari beberapa pihak (baik yang idealis, utopis, mau pun yang bersifat sarkatis dan oportunis) untuk segera menyingkirkan fungsi pengawasan perbankan dari BI. Mereka beranggapan bahwa fungsi pengawasan perbankan akan lebih obyektif dan dapat dikelola dengan good governance bila dilakukan oleh pihak lain selain bank sentral. Benarkah demikian? Walau frekuensi terjadinya belumlah tergolong signifikan, pemisahan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral kepada FSA (Financial Services Agency, semacam OJK di Jepang) masih menyisakan kasus kebangkrutan Long-Term Credit Bank dan Nippon Credit Bank di Jepang yang di kemudian hari terbukti merekayasa pembukuannya (The Economist, 30 August 2003).

Selain itu, bila mengamati posisi laporan rugi-laba dalam laporan keuangan beberapa bank umum di Indonesia, umumnya porsi pendapatan bank yang berasal dari penanaman di SBI (Sertifikat Bank Indonesia, perangkat finansial yang digunakan untuk fungsi stabilitas moneter) masih memiliki porsi yang equal bahkan lebih besar dari porsi pendapatan yang berasal dari operasional bank itu sendiri (baik dari penyaluran kredit mau pun jasa-jasa perbankan lainnya). Hal ini menunjukkan bahwa kontrol BI secara langsung kepada bank-bank tersebut masih diperlukan agar SBI tidak disalahgunakan oleh bisnis perbankan sebagai perangkat yang profitabel.

Lagipula, berkaca kepada kondisi ekonomi negara kita yang masih memerlukan dana untuk membangun sarana dan prasarana secara merata demi kemakmuran rakyat dan meminimalisasi tingkat kemiskinan nasional, anggaran dana berjumlah besar yang akan digunakan untuk membentuk OJK menjadi suatu issue tersendiri yang patut dicermati melalui analisis cost-benefit dengan berbagai asumsi yang rasional. Sebagai informasi, menurut berita yang dilansir DetikFinance (2 Februari 2010) terdapat wacana bahwa DPR bermaksud untuk mengadakan studi banding ke luar negeri demi mempelajari hal-ikhwal OJK ini dalam kurun waktu kurang lebih selama 3 (tiga) bulan. Mudah-mudahan proyek studi banding OJK yang direncanakan ini benar-benar berbeda dengan proyek Phileas Fogg dalam novel Jules Verne, “Around the World in 80 Days”.

Jadi, setelah membaca beberapa kritisasi mengenai OJK yang telah uraikan dalam tulisan ini, apakah sebaiknya langkah pembentukan OJK di Indonesia tetap dilakukan? Ataukah sebaiknya dihentikan dan mengubah/mengamandemen Undang-Undang (UU) yang berlaku (UU BI No. 3 tahun 2004, yang mengamanatkan pembentukan OJK selambat-lambatnya pada akhir tahun 2010)?

Menurut pendapat saya pribadi, bagaimana pun juga ide pemisahan fungsi pengawasan tersebut cukup ideal dan menarik untuk dilakukan. Kita tidak akan pernah bisa menerka mengenai keandalan ide tersebut tanpa pernah mencobanya. Saya adalah termasuk segelintir pribadi yang ingin melakukan eksperimen untuk mencoba sistem pengawasan perbankan di bawah OJK, termasuk juga untuk memuaskan rasa dahaga berbagai kritikus BI yang berulang kali (melebihi frekuensi adzan sholat lima waktu per hari sepertinya) mengumandangkan kebrobokan pengawasan bank oleh BI (yang tidak sepenuhnya selalu benar).

Tentunya, bila terjadi pemindahan pengawasan bank dari BI kepada OJK, maka terdapat beberapa hal berikut yang harus diperhatikan:
Pertama, OJK tetap harus memberikan kesempatan kepada BI untuk tetap dapat mengakses informasi pengawasan bank agar BI tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai lender of the last resort. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Paul Volker (mantan chairman dari Federal Reserve US), kebijakan moneter tidak dapat dilakukan dengan baik apabila bank sentral kehilangan perannya dalam mengawasi sektor perbankan.
Kedua, Komposisi kepegawaian OJK seyogyanya menyertakan sebagian pegawai BI yang berasal dari sektor pengawasan perbankan sebelumnya. Mengingat bahwa OJK ini pasti akan dipenuhi dengan nuansa politis yang kental, maka BI harus memikirkan kemungkinan untuk melakukan program exit policy yang sangat solutif bagi para karyawannya bila OJK tidak memberikan kesempatan kepada pegawai BI untuk bergabung didalamnya.

Andai toh ternyata OJK tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan, anggaplah kegagalan tersebut sebagai cost dari pelajaran yang sangat berharga (learning by trial and error) untuk kemudian mengembalikan fungsi pengawasan perbankan tersebut kepada BI (dan boleh juga sekali atau dua kali kita mengatakan kepada para penggagas OJK, “See, what have I told you?”).

Kesan pertama memang begitu menggoda, namun selanjutnya tetap terserah Anda..

Salam..

About me..

Foto saya
I've been passing time watching trains go by.. All of my life, lying on the sand watching seabirds fly.. wishing there would be, someone's waiting home for me..